Fenomena Calon Kepala Daerah Gandeng Pengusaha di Pilkada, Pengamat Sebut Resiko Korupsi dan Politik Uang Mengintai

JABAR EKSPRES  – Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan digelar pada 27 November 2024, beberapa bakal calon mulai menggaet para pengusaha.

Pengamat Politik Universitas Padjadjaran, Firman Manan, menjelaskan bahwa tingginya biaya politik menjadi pendorong utama calon kepala daerah untuk menggandeng pengusaha.

“Kita sudah banyak informasi tentang biaya politik yang tinggi. Bahkan selevel Mendagri mengatakan bahwa untuk level bupati bisa puluhan miliar dan gubernur bisa ratusan miliar,” ujarnya saat dikonfirmasi, Selasa (17/9).

Menurut Firman, tingginya biaya politik ini sudah pasti akan memaksa calon untuk mencari dukungan finansial dari pengusaha yang secara tidak langsung menutupi biaya logistik, meski hal ini membawa risiko besar.

“Sering kali besarnya biaya politik tidak bisa ditanggung sendirian oleh kandidat atau pasangan calon. Karena secara tidak langsung bisa membackup logistik,” ujarnya.

Namun, Ia juga menggarisbawahi bahwa dukungan dari pengusaha tidak datang tanpa harapan timbal balik.

“Dalam dunia politik, dikenal istilah ‘tidak ada makan siang gratis’. Artinya, ada dugaan pertukaran atau timbal balik yang tidak bisa dihindarkan,” katanya.

“Jadi yang jadi pertanyaan apakah kemudian bantuan-bantuan dan support finansial dari pengusaha itu memang nanti diharapkan sebagai bagian dari pertukaran. Setelah misalnya pasangan calonnya yang didukung menangkan di Pilkada,” lanjutnya.

Firman menambahkan bahwa keterlibatan pengusaha dalam politik sering berpotensi menimbulkan praktik koruptif dan politik uang.

Hingga hari ini, tak sedikit proyek-proyek pemerintah daerah atau dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebagian besar digunakan untuk memenuhi syarat pertukaran atau timbal balik dari support finansial yang diberikan pengusaha terhadap balon kepala daerah.

Dan tidak jarang kemudian terindikasi pada tindakan yang mengarah kepada tindakan korupsi karena bentuk penyelewengan sebenarnya ada dari penyalahgunaan anggaran publik.

“Nah itu kalau potensi masalahnya ya dari kemudian dukungan finansial dari pengusaha itu,” kata Firman.

Namun meskipun praktek pertukaran dalam hal proyek kerap terjadi, menurutnya hal itu sudah sesuai dengan prinsip para pengusaha yakni orientasi bisnis.

Meskipun terjunnya pengusaha ke ranah politik tidak hanya terjadi pada Pilkada hari ini saja, bahkan jauh di pemilihan tahun-tahun sebelumnya praktek serupa sudah terjadi.

Writer: Agni Ilman Darmawan

Tinggalkan Balasan