Kemarau Panjang, Warga Bandung Barat Bisa Bertani di Waduk Saguling

“Saya nanam padi aja dari dulu memang tidak ganti-ganti. Biasanya kalau panen itu cuma dapat 3-4 karung atau 70-80 kilogram beras. Jadi gak dijual, buat sehari-hari aja. Itu pun mungkin cukup untuk 2 bulan saja,” ujar Eji.

Menanam padi di tepian Waduk Saguling yang sudah menyusut itu tentunya memiliki risiko seperti gagal panen. Bukan karena hama atau penyakit pertanian lainnya, namun bisa saja sewaktu-waktu permukaan air Waduk Saguling naik kembali disaat padinya belum bisa dipanen.

Hal itupun kerap dialami Eji. Bahkan tahun lalu, ia sama sekali tidak sempat memanen padinya karena air lebih cepat menutupi area sawah dadakannya. Alhasil, Eji harus merugi karena biaya tanam padinya tidak membuahkan hasil.

“Kemarin juga sempet nanam, terus airnya naik lagi jadi gak sampe panen. Biasanya biaya tanam kadang Rp2 juta, kalau gak kepanen ya rugi,” katanya.

Selain Eji. Onang Hidayat (71) pun terpaksa bercocok tanam di lahan Waduk Saguling yang mengering. Pasalnya, sawah yang biasa digarap olehnya sudah kering karena tidak teraliri air sejak beberapa bulan terakhir.

“Biasanya garap sawah sewa tapi sekarang lagi kering, gak ada air dari dua bulan lalu. Baru sekali panen, terus udah tanam musim kedua keburu kemarau jadinya gak ke panen,” kata dia.

Di permukaan Waduk Saguling yang mulai surut, dia sengaja menanam berbagai jenis palawija yang mudah dan cepat dipanen. “Tapi sekarang baru nanam cabai sama ubi jalar. Nanti rencananya mau jagung juga buat tahun baru. Mudah-mudahan airnya gam cepet naik lagi biar kepanen,” ucapnya.

Dikatakan Onang ada sekitar 15 warga yang bertani di lahan Waduk Saguling yang mengering. Setiap orang menggarap 500 meter persegi sampai 1.000 meter persegi.

“Setiap orang berbeda kalau saya mungkin ada 1.000 meter (persegi) yah. Ini juga saya melanjutkan orang tua saya di sini,” tandasnya. (Wit)

Writer: Suwitno

Tinggalkan Balasan