Meritokrasi adalah sistem di mana individu diberi kesempatan dan posisi berdasarkan kemampuan dan prestasi, bukan berdasarkan hubungan kekeluargaan atau kedekatan dengan kekuasaan. Di Indonesia, implementasi meritokrasi masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu contoh yang jelas adalah gagasan Presiden Jokowi tentang kabinet meritokrasi. Meskipun niat awalnya baik, praktek di lapangan sering kali berbeda. Banyak posisi penting masih diisi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, bukan berdasarkan kemampuan dan prestasi. Menurut Immanuel Kant, etika adalah kewajiban untuk menjalankan yang baik dan menghindarkan yang buruk. Dalam konteks ini, kita harus membangun ekosistem etika dalam penyelenggaraan negara. Etika harus menjadi standar moral yang dipegang teguh oleh para pemimpin. Pelanggaran etis harus mendapatkan sanksi yang berat, baik sanksi sosial maupun sanksi pada dirinya sendiri. Kepala negara harus menjadi role model dalam hal etika, sehingga tidak memanipulasi hukum untuk kepentingan kerabatnya atau orang-orang dekatnya. Sistem nilai yang objektif harus dibangun, sehingga seseorang mengikuti merit sistem berdasarkan rekam jejak dan profesionalisme, bukan karena hubungan atau kedekatan.
Pendidikan memainkan peran penting dalam mengubah budaya politik dan sosial. Pendidikan harus mengajarkan nilai-nilai etika, integritas, dan meritokrasi sejak dini. Generasi muda harus diajarkan untuk menghargai prestasi dan kemampuan, bukan kedekatan atau hubungan kekeluargaan. Pendidikan juga harus menanamkan nilai-nilai demokrasi dan partisipasi aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mencabik politik paternalistik, kita harus membangun ekosistem etika yang kuat. Ini termasuk memiliki lembaga-lembaga etik yang independen dan berwibawa, serta menegakkan standar etika di semua tingkatan kepemimpinan. Pelanggaran etika harus mendapatkan sanksi yang tegas, baik sanksi sosial maupun sanksi formal. Hanya dengan demikian kita bisa memastikan bahwa etika dan integritas menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masyarakat sipil juga memainkan peran penting dalam menjaga dan menegakkan etika. Masyarakat harus kritis dan aktif dalam mengawasi perilaku para pemimpin. Media massa, LSM, dan organisasi masyarakat harus berperan sebagai pengawas yang independen dan berani mengungkap pelanggaran etika. Masyarakat juga harus diberikan ruang untuk menyampaikan kritik dan protes tanpa takut akan represi. Contoh konkret pelanggaran etika dalam pemerintahan dapat membantu kita memahami betapa pentingnya menegakkan etika dalam penyelenggaraan negara. Salah satu contoh adalah ketika seorang pemimpin menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri sendiri atau keluarganya. Tindakan seperti ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Untuk mencabik politik paternalistik, kita harus memastikan bahwa para pemimpin memiliki kesadaran etika yang tinggi. Ini bisa dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan yang menekankan pentingnya etika dan integritas. Selain itu, kita juga harus memiliki mekanisme yang jelas untuk menilai dan menghukum pelanggaran etika.