Menyingkap Akar Politik Paternalistik di Indonesia: Sebuah Tantangan Bagi Demokrasi

Paternalistik, meskipun seringkali dianggap negatif, sebenarnya netral. Ia baru menjadi masalah ketika hukum dan etika tidak diindahkan. Pada masyarakat paternalistik, etika dan moral masih memainkan peran penting. Seorang raja, misalnya, harus adil dan bijaksana. Jika tidak, ia akan kehilangan penghormatan dari rakyatnya. Dalam konteks modern, seorang pemimpin harus memiliki kesadaran dan kontrol diri yang tinggi untuk tidak menyalahgunakan kekuasaan. dalam masyarakat tradisional, ada mekanisme protes yang halus namun efektif seperti “pepe” dalam budaya Jawa. Ketika rakyat diam dalam terik matahari sebagai bentuk protes, pemimpin yang bijak harus mampu menangkap sinyal tersebut dan merespons dengan bijaksana.

Integritas dan profesionalitas harus menjadi etos kerja penyelenggara negara. Jika integritas hilang, maka hukum tidak akan memberikan efek jera. Lingkungan yang toksik atau kebobrokan moral bisa menjadi penyebab utama hilangnya integritas. Kita membutuhkan pemimpin yang dapat menjaga kehormatannya dan tidak menyimpang dari apa yang dikatakan dan dilakukan. mahkamah etik penting di Indonesia. Lembaga ini akan menilai dan memberikan sanksi kepada pejabat yang melanggar etika, meskipun pelanggaran tersebut mungkin ringan di mata hukum. Misalnya, tindakan pemimpin yang kasar atau tidak sopan mungkin tidak bisa dihukum berat secara hukum, tetapi bisa mendapatkan sanksi berat secara etika. Kita harus memiliki standar etika yang jelas dan tegas di semua tingkatan kepemimpinan. Presiden sebagai kepala negara tertinggi harus menjadi teladan dalam hal etika. Jika pemimpin tertinggi saja tidak patuh pada etika, maka jangan harap para pejabat di bawahnya akan memiliki integritas. Sistem nilai yang objektif harus diterapkan, sehingga seseorang dipilih berdasarkan kemampuan dan rekam jejaknya, bukan karena kedekatan atau hubungan kekeluargaan.

Implementasi meritokrasi di Indonesia masih menghadapi banyak tantangan. Sistem politik yang paternalistik sering kali menjadi hambatan terbesar. Meskipun meritokrasi digagas dan dipromosikan, praktek di lapangan sering kali berbeda. Banyak jabatan penting masih diisi oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, bukan berdasarkan kemampuan dan prestasi. Selain itu, budaya patron-klien yang masih kuat dalam masyarakat kita juga menjadi tantangan. Dalam sistem ini, hubungan antara pemimpin dan rakyat sering kali didasarkan pada kedekatan pribadi dan loyalitas, bukan pada kemampuan dan prestasi. Untuk mengatasi hal ini, kita perlu mengubah budaya politik dan sosial kita secara menyeluruh.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan