Selain itu, terdapat siklus empat windu berumur 32 tahun, yaitu nama hari, pasaran, tanggal, dan bulan akan tepat berulang atau disebut tumbuk. Keempat windu dalam siklus itu diberi nama Kuntara, Sangara, Sancaya, dan Adi. Tiap windu tersebut memiliki lambang sendiri, yaitu Kulawu dan Langkir. Masing-masing lambang berumur delapan tahun, sehingga siklus total dari lambang berumur 16 tahun.
Pun demikian, masih ada perbedaan perhitungan antara tahun Jawa dan tahun Hijriah. Tiap 120 tahun sekali, akan ada perbedaan satu hari dalam kedua sistem penanggalan tersebut. Inilah yang membuat pada saat itu tahun Jawa diberi tambahan satu hari. Periode 120 tahun ini disebut dengan khurup.
Sampai awal abad 21, telah terdapat empat khurup, yaitu Khurup Jumuwah Legi/Amahgi (1555 J–1627 J/1633 M–1703 M), Khurup Kemis Kliwon/Amiswon (1627 J–1747 J/1703 M–1819 M), Khurup Rebo Wage/Aboge (1867 J–1987 J/1819 M–1963 M), dan Khurup Selasa Pon/Asapon (1867 J–1987 J/1936 M–2053 M).
Nama khurup yang berlangsung mengacu kepada jatuhnya hari pada 1 bulan Sura tahun Alip. Pada Khurup Asapon, tanggal 1 bulan Sura tahun Alip akan selalu jatuh hari Selasa Pon selama kurun waktu 120 tahun.
Wuku dan Neptu
Terkait dengan penanggalan Jawa, dikenal pula periode waktu yang dianggap menentukan watak dari anak yang dilahirkan, seperti halnya astrologi yang terkait dengan kalender Masehi. Periode ini disebut Wuku dan ilmu perhitungannya disebut sebagai Pawukon. Terdapat 30 Wuku yang masing-masing memiliki umur 7 hari, sehingga satu siklus Wuku memiliki umur 210 hari yang disebut Dapur Wuku.
Selain Wuku, terdapat juga Neptu yang digunakan untuk melihat nilai dari suatu hari. Ada dua macam Neptu, yaitu Neptu Dina dan Neptu Pasaran. Neptu Dina adalah angka yang digunakan untuk menandai nilai hari-hari dalam saptawara, sedangkan Neptu Pasaran digunakan untuk menandai nilai hari-hari dalam pancawara. Nilai-nilai ini digunakan untuk menghitung baik buruknya hari terkait kegiatan tertentu dan perwatakan seseorang yang lahir pada hari tersebut.
Kalender Sultan Agungan yang dimulai pada Jumat Legi tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 J, atau 1 Muharram 1043 H, atau 8 Juli 1633. Peristiwa ini terdapat pada Windu Kuntara Lambang Kulawu dan ditandai dengan candra sengkala yang berbunyi Jemparingen Buta Galak Iku (panahlah raksasa buas itu).