Seperti yang telah kita ketahui, asal-usul kata “Nyepi” berasal dari gabungan kata “sepi” dan “sipeng” yang mengandung makna hening, sunyi, dan senyap.
Firman Satria, Jabar Ekspres
Perayaan Nyepi ditujukan untuk mengajak merenung dalam hening dan kesunyian. Melalui introspeksi, meditasi, dan evaluasi diri, kita diminta bertanya tentang tindakan kita serta upaya apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki diri.
Ada juga Upacara Tawur, yang secara harfiah berarti membayar hutang. Dalam konteks ini, utang tersebut adalah kepada para bhuta kala, yang dalam tradisi Tri Hita Karana di Bali, termasuk dalam penghormatan kepada Dewa Rna.
Menurut penjelasan dari I Komang Kusuma Adi salah satu warga asal Bali yang sudah tinggal di Cimahi selama dua tahun. Kini ia berprofesi sebagai dosen di ISBI Fakultas Seni Karawitan.
Ia menjelaskan, filosofi tawur adalah praktik memberi atau mengembalikan sesuatu sebagai upaya membersihkan dan menyeimbangkan energi di alam semesta, dengan memberikan keseimbangan dari penggunaan dan interaksi manusia dengan alam.
“Dari utang kepada bhuta inilah perlu dilaksanakannya bhuta yadnya yang tujuannya adalah agar energi-energi negatif dari para bhuta kala tidak mengganggu umat manusia di dunia ini,” jelasnya pada Jabar Ekspres saat ditemui di Pura Wira Loka Natha Kota Cimahi, Minggu 10 Maret 2024.
Komang menjelaskan, tawur memiliki fungsi untuk menyucikan para bhuta kala sehingga mereka dapat menyatu dengan sang Hyang Tunggal.
“Yang diwujudkan dengan pawai ogoh-ogoh yang bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat keraksasaan dan mengembalikan kekuatan positif dari alam,” jelasnya sembari menunjukkan ogoh-ogoh.
Adanya pawai ogoh-ogoh, Komang menjelaskan itu merupakan simbol dari kekuatan alam yang bisa berdampak baik maupun buruk.
“Ogoh-ogoh itu di sidupkan secara ritual lalu untuk menjadi rumah dan menyerap energi negatif disekitaran disekeliling ini lalu kemudian diarak lalu terakhir dimatikan,” kata Komang dengan serius menjelaskan makna ogoh-ogoh.
Nantinya, akan ada upacara peleburan, mirip dengan tradisi Bali yang menggelar pembakaran. Namun di sini, kata Komang cukup dengan mematikannya sebagai simbolisasi, sehingga semua energi negatif dapat dikembalikan ke alamnya.