JABAR EKSPRES – Biro BUMD, Investasi dan Administrasi Pembangunan (BIA) Jabar serius untuk memperbaiki kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) di Jabar. Pendampingan dan evaluasi berkala konsisten dilakukan untuk memantau perkembangan para BUMD.
Kepala Biro BIA Jabar Lusi Lesminingwati mengungkapkan, mekanisme evaluasi terhadap para BUMD itu juga berpedoman pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No 118 tahun 2018. Prosesnya juga berkala, dari tahunan, semesteran, hingga bulanan.
Bahkan, intensitas evaluasi bisa ditingkatkan ketika BUMD sedang dalam program khusus atau menjadi sorotan. “Bisa kami rutinkan tiap bulan. Kalau evaluasi umum bisa triwulanan,” jelasnya saat ditemui Jabar Ekspres, Selasa (06/02).
BACA JUGA: Kepercayaan Publik Terhadap Presiden Jokowi Bisa Luntur, Aksi Protes Terus Bergema
Lusi melanjutkan, BUMD di lingkungan Pemprov Jabar juga rutin menyampaikan laporan keuangan tiap bulan. Biasanya disampaikan setiap awal bulan. Evaluasi juga memanfaatkan aplikasi seperti SiMOLEK. “Kalau sampai Tanggal 15 belum sampaikan laporan biasanya kami beri teguran juga,” tuturnya.
Evaluasi itu meliputi berbagai program strategis BUMD. Mulai dari soal keuangan hingga aspek bisnis di masing-masing BUMD.
Biro BIA sendiri juga tidak segan untuk mengambil langkah tegas untuk perbaikan BUMD. Salah satunya adalah merger sejumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Upaya merger perlu dilakukan karena suku bunga yang makin tinggi ditambah BPR yang cenderung kalah bersaing.
BUMD yang tengah proses dimerger itu adalah Perseoran Terbatas (PT) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Karya Utama Jabar, PT BPR Wibawa Mukti Jabar, PT BPR Artha Galuh Mandiri Jabar, dan PT BPR Majalengka Jabar.
Merger BUMD itu juga akan berlanjut pada 2024 ini. “Kalau tidak dimerger kurang bias bersaing nanti,” tuturnya.
Biro BIA memang memiliki semangat untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja BUMD. Memang saat ini sedang berproses. Selama dua tahun berjalan, upaya perbaikan itu mulai nampak. Sejumlah BUMD yang dulunya belum bisa menghasilkan laba kini berlahan bisa menghasilkan. Misalnya PT Agronesia.
Tapi memang belum sampai bisa memberikan deviden ke kas daerah karena memang sedang berjuang untuk menutuh utang masa lalu yang cukup tinggi. “Perbaikan memang terus berproses,” jelasnya.(son)