JABAR EKSPRES- Situasi penjajahan Palestina oleh Israel, khususnya di Tepi Barat, mengalami eskalasi kekerasan yang mencatat jumlah korban tewas warga Palestina oleh pasukan Israel tahun ini mencapai lebih dari 200 orang, angka tertinggi dalam sejarah. Beriringan dengan kondisi tersebut, akankah Saudi menghianati Palestina ?
Pemukim ilegal terus melakukan serangan terhadap warga Palestina, yang mendukung rencana ekspansi pemukiman Yahudi di Tepi Barat. Masjid al-Aqsa di Yerusalem terus mengalami konflik dengan tentara Israel dan pemukim Yahudi. Sistem pendidikan anak-anak Palestina mengalami hambatan, sementara kehidupan di Gaza semakin memburuk.
Di tengah latar belakang ini, Arab Saudi dan Israel telah memulai pembicaraan untuk menormalisasi hubungan diplomatik, yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS). Normalisasi ini kini menjadi fokus utama kebijakan luar negeri AS.
BACA JUGA : Benarkah Rusia Telah Memblokir Situs Wikipedia di Negaranya ?
Meskipun Iran dan Arab Saudi telah memulihkan hubungan diplomatik mereka, Saudi tetap menginginkan pakta pertahanan dengan AS, termasuk pembatasan yang lebih terbatas terhadap penjualan senjata AS dan bantuan dalam program nuklir sipil. Namun, kesepakatan apapun akan membutuhkan kemajuan besar menuju pendirian negara Palestina, yang menjadi hal sulit bagi pemerintah nasionalis dan sayap kanan Israel.
Arab Saudi telah menjadi pendukung utama Inisiatif Perdamaian Arab pada tahun 2002, yang menghubungkan normalisasi hubungan dengan Israel dengan penarikan mereka dari wilayah Palestina dan Dataran Tinggi Golan di Suriah. Inisiatif ini juga mencakup pembentukan negara Palestina serta penyelesaian adil terhadap penderitaan jutaan pengungsi Palestina dan keturunan mereka.
Menteri Luar Negeri Israel, Eli Cohen, menyampaikan optimisme bahwa kesepakatan dapat segera tercapai, dengan harapan rincian kesepakatan akan diselesaikan dalam beberapa bulan mendatang.
Meskipun Arab Saudi ingin mengembangkan program nuklir sipil, hal ini tampaknya tidak menjadi hambatan besar. Namun, pemerintah Israel, di bawah kepemimpinan Benjamin Netanyahu, bersikeras menolak konsesi terhadap Palestina sebagai bagian dari normalisasi hubungan, termasuk pembekuan pembangunan pemukiman Yahudi di Tepi Barat.
Penting untuk dicatat bahwa ada perbedaan reaksi dari Palestina terhadap normalisasi hubungan dengan Israel kali ini dibandingkan dengan normalisasi dengan Bahrain dan Uni Emirat Arab pada tahun 2020. Palestin mengajukan sejumlah syarat, termasuk pembukaan kembali konsulat AS di Yerusalem Timur dan dukungan penuh untuk perwakilan Palestina di PBB.