JABAR EKSPRES – Malam satu Suro, yang jatuh pada tanggal 1 Muharam dalam kalender Hijriah, memiliki banyak mitos dan pantangan yang di percayai oleh masyarakat Jawa. Pada tahun 2023, malam satu Suro jatuh pada Selasa (18/7/2023) malam.
Mitos-mitos ini berakumulasi dari pensakralan yang terjadi dalam penggabungan kalender Islam dan kalender Jawa (Hindu) yang menjadi asal-usul perayaan malam satu Suro.
Tundjung W Sutirto, seorang pemerhati budaya dan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS).
Baca juga : Benarkah Tak Boleh Menikah di Bulan Muharam atau Suro?
M enjelaskan bahwa malam satu Suro di anggap sakral oleh masyarakat Jawa karena merupakan momentum penanggalan yang dianggap istimewa.
Hal ini berkaitan dengan perhitungan (petangan) yang menentukan penggabungan kalender tersebut.
Dari sini, muncul mitos-mitos seperti larangan keluar malam, tidak menyelenggarakan pernikahan, tidak pindah rumah, dan tidak keluar rumah sebagai bagian dari upaya meluhurkan pergantian tahun baru Jawa secara spiritual.
Perkembangan mitos malam satu Suro terjadi secara akumulatif sesuai konteks zamannya.
Misalnya, tradisi kirab pusaka di Keraton Surakarta baru di mulai pada tahun 1974. Ketika Presiden Soeharto meminta agar kirab tersebut di lakukan untuk menjaga bangsa Indonesia dari bencana.
Meskipun begitu, semua mitos yang berkembang memiliki substansi yang sama, yaitu pengendalian diri.
Mitos-mitos ini merupakan pantangan untuk bersenang-senang dan merupakan warisan dari leluhur dalam proses penggabungan kalender Islam dan Jawa (Hindu) dalam penanggalan Jawa.
Salah satu mitos yang di yakini masyarakat Jawa adalah larangan keluar rumah pada malam satu Suro.
Tundjung menjelaskan bahwa ini juga merupakan mitos, namun di sarankan untuk tidak keluar rumah kecuali jika di perlukan.
Hal ini di yakini karena akan bertemu dengan pasukan dari Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) yang sedang menuju ke keraton atau Gunung Merapi dapat membawa sial.
Meskipun begitu, tradisi kirab yang di adakan di keraton pada tengah malam memiliki makna yang berbeda.
Hal ini terkait dengan perjanjian Abiproyo antara Panembahan Senopati (Raja Mataram) dengan Nyai Roro Kidul.