JABAR EKSPRES- Twitter sedang diramaikan oleh kesuksesan Blok M Plaza yang kembali menjadi pusat perhatian berkat hadirnya MRT di sekitarnya.
Sebelumnya, mal yang didirikan pada tahun 1990 ini mengalami masa-masa suram dengan penurunan jumlah pengunjung dan kebangkrutan beberapa pemilik toko.
Namun, dengan adanya inovasi dari pihak mal yang menghubungkan MRT dengan Blok M Plaza, situasinya mulai berubah.
Meskipun awalnya pembangunan MRT ini ditentang oleh beberapa pihak, seiring berjalannya waktu, Blok M Plaza berhasil mendapatkan kembali minat pengunjungnya.
BACA JUGA : Citroën Hadir di Kota Bandung, Simak Promo Spesial dan Kelebihanya
Hal ini tidak lepas dari kontribusi Lanny Dharmawan, mantan GM Blok M Plaza, yang memainkan peran penting dalam menghidupkan kembali Blok M Plaza.
Menurut mantan Direktur MRT, Agung Wicaksono, Lanny Dharmawan adalah orang yang sabar dan selalu mendukung pembangunan MRT, meskipun saat itu Blok M Plaza sedang mengalami masa sulit.
Selain itu, pihak mal juga melakukan langkah-langkah lain untuk menarik minat pengunjung, seperti membuka restoran dan toko-toko merek ternama di dalamnya.
Mereka juga menerapkan sistem Transit Oriented Development (TOD), yang memudahkan masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan di sekitar Blok M Plaza.
Namun, perbincangan mengenai Blok M Plaza juga mengangkat pertanyaan tentang mal-mal lain yang masih berada di kawasan Blok M, seperti Mal Blok M dan Blok M Square.
Meskipun kedua mal ini juga dapat diakses dengan transportasi umum, hanya Blok M Plaza yang mendapatkan kunjungan yang ramai. Hanya ada beberapa puluh kios yang buka di kedua mal tersebut, sedangkan Blok M Plaza menjadi tujuan utama pengunjung.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi situasi ini, dan salah satunya adalah pandemi Covid-19.
Terutama bagi mal dengan target pasar kelas menengah ke bawah, pemulihannya menjadi lebih sulit karena adanya peningkatan harga kebutuhan pokok dan bahan bakar.
BACA JUGA : Berapa Gaji Buzzer ? Benarkah Bisa Sampai 100 Juta ?
Bagi masyarakat menengah ke bawah, pergi ke mal dianggap sebagai kebutuhan sekunder, sehingga mereka lebih memilih memenuhi kebutuhan dasar yang lebih penting.