Kedua, kesulitan dan krisis/resesi ekonomi global yang melanda Eropa pasca terjadinya peperangan Rusia vs Ukraina, AS dan NATO menyebabkan biaya hidup yang tinggi, kelangkaan gas dan makanan sehingga suasana kebatinan masyarakat sedang tidak baik–baik saja. Kecewa dan marah bertemu di satu ‘momentum’ untuk dijadikan alasan dan pemakluman. Oleh karenanya, kesulitan ekonomi ini dimanfaatkan oleh sebagian pendemo sebagai kesempatan untuk melakukan pengerusakkan, pencurian dan penjarahan besar-besaran terhadap banyak toko–toko, baik toko yang menjual pangan, sandang, maupun aksesori dan barang elektronik. Dampak ekonominya tentu kerugian besar yang belum terhitung.
Ketiga, adanya kelompok bertopeng yang serba hitam memanfaatkan situasi chaos untuk mencapai kepentingannya. Mereka merupakan kelompok anarkis sayap kiri jauh, yang dikenal sebagai ‘Blok Hitam’ atau ‘Black Bloc’ yang sering memicu dan inisiator aksi anarkis hampir dalam setiap unjuk rasa. Momentum ‘rusuh’ dijadikan pesta kegembiraan, kemeriahan dan kemenangan serta anti kemapanan.
Keempat, adanya kelompok mafia yang memanfaatkan situasi untuk merusak dan menerobos penjara guna membebaskan rekan–rekannya yang masih ditahan disana. Saat petugas keamanan disibukkan dengan situasi chaos, dijadikan kesempatan yang berharga untuk menjebol penjara sehingga bisa reunian dengan teman-temannya yang sudah lama ditahan.
BACA JUGA: Tidak Ada WNI Terlibat dalam Kerusuhan Prancis
Kelima, ada juga faktor kemarahan ribuan pekerja yang kecewa dengan kebijakan pemerintah, terutama terkait dengan rencana perubahan usia pensiun dari 62 ke 64 (reformasi masa pensiun) yang dianggap mengurangi hak untuk menikmati masa purna (masa tergabung dalam serikat pekerja sayap kiri).
Keenam, jualan gorengan isu–isu SARA yang bersifat super sensitif. Mobilitas kemarahan massa telah berhasil dieksploitasi dengan menggoreng ‘isu minoritas’, rasialisme, ketidakadilan, para imigran/ pendatang, kekejaman dan kebrutalan, serta kemiskinan dan masyarakat pinggiran yang termarginalkan. Kaum pendatang dan wong cilik seringkali disimbolkan sebagai rakyat kecil yang sering ditindas, dikerdilkan, dihinakan dan diperlakukan tidak adil.
Ketujuh, terkait peran media, terutama media sosial seperti Snapchat, TikTok, dan yang lainnya yang begitu masif dan cepat menyebarkan berbagai kejadian yang membakar emosi dan psikologis massa. Instrumen teknologi dimainkan sebagai senjata pamungkas untuk menggiring opini publik dan mensugesti kemarahan sebagai cara memperjuangkan keadilan jalanan. Kaum rentan ‘usia muda’ dijadikan subjek dan objek skenario chaos dengan menggembar-gemborkan solidaritas remaja, solidaritas kaum pinggiran, rakyat miskin kota serta berbagai berita hoaks lainnya yang disajikan dengan menu yang dianggap menarik untuk membangkitkan selera kerusuhan.