“Kelebihan produk saya, mutunya. Bahan baku juga tidak abal-abal dan dari segi kekuatan lebih kuat dan cara jahitnya lebih rapi, itu yang membedakan,” ujarnya.
Beban kian berat ketika pandemi covid-19 melanda Indonesia, usahanya juga terdampak. Itu ketika Pemerintah melarang pengadaan pesta lamaran maupun pernikahan. Padahal, usaha milik Lies sangat bergantung pada momen-momen tersebut.
“Namanya saingan, orang mau cari yang murah. Apalagi pas corona waduh bener-bener, waktu corona pestanya dilarang otomatis cukup ngaruh. Tapi saya minimalisir pindah usaha dulu ke makanan, Alhamdulillah ada aja (penghasilan),” ujarnya.
Tuai Hasil
Meski memutuskan menjalankan usaha mandiri, dia kerap membuka lowongan kerja kepada tetangga sekitarnya jika banyak pesanan masuk untuk bantu produksi.
Pesanan terbanyak yang pernah Lies terima yaitu 15-26 lusin kerajinan bosara. Adapun harga kerajinan bosara Rp 500 ribu per lusin, dan tudung saji dijual Rp 200 ribu. Omzet yang dia peroleh rata-rata per bulannya Rp 2 juta. Karena penjualan bosara dan tudung saji ini bukan termasuk kebutuhan primer atau pokok.
Lies tidak hanya fokus memproduksi dan menjual kerajinan bosara dan tudung saji saja. Berbagai lomba UMKM diikuti demi menunjukkan diri. Alhasil, dia sempat menjadi juara sebagai UMKM Mandiri di Kecamatan Mariso, Kota Makassar, Sulawesi Selatan.
Demi mengasah kemampuan bisnis, Lies masih rajin mengikuti berbagai pelatihan, atau seminar terkait bagaimana mengembangkan usaha. Ia juga sangat bersyukur karena berkat bantuan KUR BRI, dirinya bisa mengembangkan usaha. Dirinya tidak perlu khawatir lagi jika terbatas dengan modal, cukup mengajukan pinjaman.