Berkaitan dengan periodisasi masa jabatan, Wakil Ketua Umum FK-DKISIP, Drs. Denny Ramdhany (FISIP Universitas Jayabaya, Jakarta) mengemukakan bahwa tampaknya jumlah dana yang dikucurkan pemerintah kepada pemerintah desa menjadi salah satu pemicu usulan perpanjangan ini.
Alokasi dana tahun 2022 sebesar Rp 68 trilyun untuk 74.961 desa, jumlah dana yang sangat besar untuk menjadi calon kepala desa serta masih lemahnya fungsi BPD, bisa menjadi masalah serius bila usulan ini disetujui.
Rendy Adiwilaga, SIP., M.Sc. menandaskan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa merupakan ujian integritasnya menjelang tahun politik yang sudah mulai “genit”.
Kades dan pemerintah desa perlu diberi wewenang yang lebih luas, terutama pada aspek strategisnya sebagai self government community.
Dr. Nany Harlinda Nurdin, M.Si., Dekan FISIP Universitas Indonesia Timur, Makassar, sebagai peserta seminar menolak usulan penambahan jabatan kepala desa agar tidak menambah permasalahan desa, mulai dari korupsi sampai dengan pengelolaan keuangan.
Lebih baik memaksimalkan masa jabatan yang saat ini berlaku serta memberikan pembekalan kepada mereka agar lebih bagus membangun desanya.
Peserta seminar, Ketua Pengurus Wilayah V (Jateng, Yogyakarta dan Jatim) FK-DKISIP, Dr. Usep Supriatna, M.Pd. yang juga Dekan FISIP Universitas PGRI Ronggolawe Tuban, Jawa Timur menandaskan bahwa usulan tersebut lebih merupakan naluri kekuasaan dan kenyamanan.
Adanya masa jabatan yang diperpanjang maka dapat mengabaikan janji pencapaian visi dan misi pada saat kampanye serta tanggung jawab untuk menyejahterakan rakyat.
Peserta lainnya, Dekan FISIP Universitas Yudharta, Pasuruan Jawa Timur, Dr. Any Urwatul Wusko, S.Sos,,MAB. tidak sependapat dengan usulan penambahan masa jabatan ini, karena akan menyuburkan praktik oligarki, membuka keran abuse of power, serta sarat dengan kepentingan politik.
Jabatan yang selama ini 6 tahun menjadi kesempatan untuk mengembalikan modal yang digunakan ketika kampanye sehingga melupakan tugasnya dalam pengabdian kepada desanya.