SEMINAR NASIONAL: Kontroversi Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa dari Perspektif Akademisi

“Kontroversi ini menjadi sesuatu yang multiaspek, karena berkenaan dengan berbagai dimensi kehidupan sosial politik yang saling berkelindan,” ujarnya.

“Sangat berisiko gagasan untuk menambah masa jabatan kepala desa ini, sebagai salah satu jenis jabatan publik yang melibatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan,” imbuhnya.

Menurutnya, dalam tatanan pemerintahan saat ini, terdapat pejabat publik lain yang dipilih langsung oleh rakyat (elected official), selain kepala desa yang masa jabatannya ramai diperbincangkan.

“Mereka adalah pemangku jabatan eksekutif yang juga elected official, yaitu presiden, gubernur, bupati/walikota, yang masa jabatannya dibatasi 2 periode,” cetus diam

Sementara itu, ada jabatan publik lain yang juga elected official, yang tidak ada pembatasan masa jabatan, yaitu anggota DPR, DPD dan DPRD. Seharusnya hal ini pun menjadi kajian akademis dalam forum FK-DKISIP  karena tidak sedikit legislator  yang menjabat lebih dari 30 tahun.

Sementara itu, Dr. Kisno Hadi, SIP.,M.Si. menguraikan tentang 5 fakta tentang desa, 5 fakta tentang permasalahan desa, serta dalam konteks tata kelola pemerintahan, partisipasi, transparansi, dan efektivitas pemerintahan.

“Untuk itu, maka guna memastikan terjadinya sirkulasi elit dan tidak membentuk oligarki di desa, maka kalaupun perlu penambahan masa jabatan dari 6 tahun ke 3 tahun berikutnya (9 tahun), maka cukup dibatasi 1 periode saja,” jelasnya.

Dr. Herman Dema berdasarkan perspektif demokrasi dan otonomi desa, maka bila masa jabatannya diperpanjang menjadi 9 tahun akan berdampak buruk terhadap demokrasi dan mengabaikan regenerasi estafet kepemimpinan.

Senada dengan itu, Dr. As. Martadani Noor, MA. dalam pemaparannya menyebutkan bahwa isu perpanjangan masa jabatan tidak akan terlepas dari praktik politik transaksional.

Hal ini berkaitan dengan peta transaksi politik jabatan kades, yang meliputi ancaman kohesi sosial dan konsolidasi konflik sosial, kebutuhan agenda parpol dan pimpinan nasional (pemilu), serta kerentanan kepercayaan publik, penyimpangan kekuasaan dan potensi KKN.

Dari perspektif demokrasi, menurut Drs. H. Muh. Juhad, MAP, bahwa usulan ini seharusnya menjadi pertimbangan wakil rakyat di Senayan, sehingga tidak merugikan rakyat dan mengebiri hak demokrasi untuk generasi bangsa.

Tinggalkan Balasan