CINA menjadi negara yang paling tak dikagumi warga Indonesia. Hal ini berdasarkan data penelitian The Indonesia National Survey Project (INSP) yang diprakarsai ISEAS – Yusof Ishak Institute. Terbit lima tahun sekali.
Kajian dilakukan secara tatap muka pada Juli 2022. Penelitian itu menggunakan metode polling responden yang menyasar warga dari 34 provinsi Indonesia.
Salah satu peneliti dalam proyek kajian tersebut, Dr Hui Yew-Foong mengatakan, respon ‘kurang baik’ itu muncul akibat dari perubahan status Cina yang makin kuat secara ekonomi global.
“Orang Indonesia cenderung tetap curiga terhadap tawaran (kerjasama) Cina,” kata Dr Hui melansir The Straits Times, pada Jumat (10/2).
Survei tersebut mencatat, dari 78,2 persen responden, sebanyak 34,1 menganggap Cina memberi dampak negatif kepada Indonesia, sementara 27,1 persen menilai positif.
Hasil penelitian itu juga menemukan fakta, sekira 60,3 persen responden menilai buruk terhadap kebijakan ekonomi ‘China’s Belt’ dan ‘Road Initiative’.
Dia menuturkan, skema investasi multi-triliun dolar yang melibatkan pengembangan dan program di lebih dari 100 negara, tak ubahnya menciptakan versi modern jalur perdagangan ‘Jalur Sutra Kuno’ Asia ke Eropa.
Beberapa orang Indonesia dapat menganggap inisiatif tersebut sebagai “perangkap utang keuangan untuk negara lain”. Termasuk Indonesia, mereka juga berutang banyak ke Cina.
“Di dalam negeri, orang Indonesia mungkin mewaspadai persaingan dari pekerja asing China, yang merupakan hampir setengah dari seluruh pekerja asing di Indonesia,” tambahnya.
Lain halnya Cina, negera Arab Saudi, Turki dan Singapura memiliki nasib lebih baik. Mereka ialah tiga negara teratas yang paling dikagumi warga Indonesia.
Arab Saudi berada di puncak klasemen tersebut, yakni dengan raihan ‘poin’ 95,7 persen. Sementara Singapura sebesar 90,8 persen, lalu selanjutnya disusul Turki dengan 90,4 persen.
Bahkan saat ditanya negara mana yang penting bagi Indonesia, Arab Saudi juga menempati peringkat tertinggi, dengan 97,4 persen responden memilihnya. Ini diikuti oleh Singapura sebesar 90,8 persen, dan Turki sebesar 90,4 persen.
Selain Dr Hui Yew-Foong, dua peneliti lainnya adalah Dr Siwage Dharma Negara dan Dr Burhanuddin Muhtadi, keduanya sekaligus mengkoordinir Program Studi Indonesia ISEAS.