Sayang, tembakan gas air mata yang terus membabi buta sempat membuatnya pingsan lagi. Paman yang selalu di sisinya terpaksa menggotong Febi keluar ke gate 13.
Setengah sadar dari pingsan kali kedia itu, Febi sempat melihat sejumlah Aremania yang jatuh. Bahkan tidur di lantai. Ternyata, apa yang dia lihat itu merupakan korban Kanjuruhan yang tewas karena terimpit.
Febi lolos dari tragedi itu karena keluar dari lubang ventilasi udara yang dijebol Aremania. Dia baru sadar penuh ketika berada di area parkir sepeda motor Stadion Kanjuruhan. Bingung, itu yang dia rasakan pertama kali setelah sadar bisa lolos dari maut.
Rangkaian kejadian sejak di dalam stadion hingga ke tempat parkir motor itu membuat Febi benar-benar lemas. Saking lemasnya, dia pingsan untuk ketiga kalinya dan baru terbangun saat sudah berada di rumah.
“Nggak tahu ya, tiba-tiba sudah di rumah dan rasa sakit akibat gas air mata masih terasa tapi. Selama tiga hari berikutnya, sebagian mata saya masih merah. Seperti iritasi kena debu,” kata Febi.
Anak terakhir dari lima bersaudara itu sempat hanya diam sesampai di rumah. Bahkan sang ayah, Muhammad, baru mengetahui bahwa putrinya itu menjadi korban tragedi Kanjuruhan pada keesokan pagi. Kondisi kesehatan Febi yang semakin buruk terpaksa harus dilarikan ke rumah sakit (RS).
“Saya berobat pakai BPJS Kesehatan milik bapak. Jadi rontgen sama obat gratis,” terangnya.
Hari kedelapan pasca-tragedi, Febi akhirnya bisa bersyukur masih bisa selamat. Dia juga merasa agak tenang lantaran sudah mendapat penjelasan dari dokter, bahwa flek di paru-parunya bisa sembuh total meski butuh waktu cukup lama.
Belajar dari kejadian itu, ke depan dia belum bisa memastikan apakah bisa kembali tribun untuk menonton sepakbola seperti dulu atau tidak. Sebab kejadian kelam itu membuat dia dan anggota keluarganya cemas.
Dari lubuk hati paling dalam, Febi memilih untuk gantung syal sementara waktu. “Masih bisa nonton di televisi. Apalagi bapak dan saudara pasti melarang saya (untuk nonton lagi langsung dari tribun),” katanya.