Hikayat Peluit Dan Tongkat: Menjadi Pak Ogah Bukan Pilihan, Demi Receh Bertarung Di Jalanan

Dimas baru memulai jadi pak ogah, baru berjalan 7 bulanan, “saya inikan lulusan SMK, begitu ijazah keluar saya coba melamar pekerjaan, hasilnya nihil,” tuturnya.

Selain itu, ia sudah pernah menjalin hubungan rumah tangga, karena berbeda prinsip dengan pasangannya. Insan muda ini terpaksa mengakhiri hubungan. “Karena berbeda prinsip, penghasilan yang kurang, jadi harus putus,” katanya.

Dimas dibesarkan oleh seorang Ibu yang tangguh, saat ini ia hidup berdua dengan Ibunda tercinta. “Bapak dari saya umur 5 tahun udah meninggal,”ungkapnya.

Dimas adalah potret undervillaged gen Z di Bandung Barat, generasi yang bisa diharapkan bisa melanjutkan estafeta perjuangan bangsa, namun lapangan pekerjaan tidak ada yang cocok dengannya, sehingga ia mensyukuri pekerjaan saat ini,” buat kerja yang seada-ada,” ujar Dimas.

Di samping saat ini prestise dan privilese anak-anak muda yang lahir di keluarga berada, bermolek keluguan dan kepolosan berbeda dengan Dimas yang harus bertarung dengan kerasnya jalan, ia tidak menyerah.

Lika-Liku Hidup Di Jalan

Saat ini Dimas, menghidupi sehari-hari menjadi juru parkir, menertibkan lalu lintas di pertigaan Rancabali yang ada di Padalarang, ia membantu menyebrang kendaraan-kendaraan dari arah Cianjur agar bisa ke melaju ke Arah Gunung Bentang.

Atau ia membantu menyebrang orang-orang yang hendak melaju ke arah kota Bandung dari arah Padalarang.

Lengkap ia memakai seragam dinas sehari-hari, topi yang usam dengan debu, rompi bertuliskan juru parkir berwarna oranye, memberhentikan kendaraan dengan tongkat yang umumnya kita lihat selalu dipakai juru parkir.

Ia berteriak-teriak, lengannya dengan lihai menstopkan kendaraan-kendaraan supaya berhenti.

“Saya biasanya dari jam 9 pagi sampai sore,” ungkapnya.

Pekerjaan ini bergilir dengan temannya yang lain, “jadi biasanya kami giliran”imbuhnya.

Selain itu, pekerjaan ini lumayan bisa mengantongi uang untuk kebutuhan sehari-hari, “lumayanlah buat makan dan hidup sehari-hari mah, seratus ribu mah ada,” ucap Dimas.

Pekerjaan ini tidak mudah, jiwa dan raga dikorbankan selain itu selalu ia menerima cacian menganggap tidak becus pada dirinya, padahal sekuat tenaga dilakukannya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan