JAKARTA – Petani meyakini produksi beras di tahun ini dan ke depan akan terus naik. Ketua Umum Kelompok Tani Nelayan Andalan (KTNA) Yadi Sofyan Noor mengatakan hal tersebut menjadi alasan kuat penghargaan IRRI akan tetap bertahan di Indonesia.
“Penghargaan IRRI ini pembuktian. Jadi intinya KTNA sangat senang, gembira. Pembuktian bahwa apa yang disampaikan ke Presiden pada 25 Januari 2018 bahwa beras kita cukup, tidak perlu impor. Petani senang karena enggak ada pesaing,” kata Yadi, ketika dihubungi.
International Rice Research Institute (IRRI) memberikan penghargaan kepada Pemerintah Indonesia atas keberhasilan mewujudkan swasembada beras dan meningkatkan ketahanan pangan nasional, di Istana Jakarta, Minggu (14/8).
“Pembuktian dari IRRI harus bertahan lama, itu bukan hanya puncaknya. Pada musim Covid-19 saja mampu (produksi beras), apalagi sekarang Covid-19 sudah melandai,” katanya.
KTNA meyakini penghargaan dari IRRI bisa tetap dipegang Indonesia dalam waktu lama karena produksi Gabah Kering Giling (GKG) akan semakin naik setiap tahunnya, bahkan melebihi total produksi GKG tahun 2021 yang tercatat sebesar 54,42 juta ton GKG berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Optimistis ya, saya yakin naik. Dengan catatan, yang penting pupuk tidak telat (distribusinya) dan iklim juga baik, sehingga bisa optimal. Bisa lebih dari 54 (juta ton GKG),” katanya.
Optimisme KTNA sehubungan dengan program-program yang dilakukan Kementerian Pertanian dalam meningkatkan swasembada beras, seperti ekstensifikasi lahan sawah melalui Food Estate serta intensifikasi lahan dengan mempercepat panen padi dari 3 kali setahun menjadi 4 kali setahun.
“Kita dukung (program Kementan), kalau tidak sekarang kapan? Harus dilakukan,” katanya.
Di sisi lain, Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) memberikan beberapa masukan bagi Kementan sebagai bisa mempertahankan penghargaan dari IRRI.
“Pertama, membatasi laju konversi sawah dengan menerapkan UU No.40 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,” kata Sekjen HKTI Sadar Subagyo ketika dihubungi secara terpisah.
Kedua, lanjutnya, membuka sawah-sawah baru atau ekstensifikasi. Ketiga, melakukan penyehatan sawah di Jawa dengan pemberian pupuk berimbang antara pupuk organik, kimia dan hayati.
“Lebih baik biaya subsidi pupuk atau input dialihkan untuk subsidi harga gabah atau output, sehingga petani dapat memperoleh net profit (laba bersih) minimal 30 persen,” katanya.