Dia selaku Ketua RW pun heran. Segala macam cara pernah dilakukan. Mulai dari mengundang pemerintah, sampai minta bantuan ke Babinsa.
“Kenapa? Nangis bapak. Tolong, kami ada masalah,” ujarnya. “Banyak 3.000 jiwa di sini. Bukan angka sedikit. Mau dibiarkan?”
“Kenapa, kok, ada pembiaran? Tidak pernah ada komentar apa-apa. Minimal telepon kami, kalau tidak mau di sini, boleh ajak bertemu kami,” pintanya sambil sesekali menyibak air mata.
Dia menceritakan, warganya bahkan mungkin saat ini sudah berpikir macam-macam. Di benak mereka, kata Asep, diisi oleh alat berat yang siap beroperasi memporak-porandakan.
“Nasibnya mungkin cuman berpikir (itu) di sekitar lapang,” katanya. “Ini, kan, bukan tanah pemkot. Enggak jelas. Ini, kan, mau diambil oleh ahli waris. Ya, sungguh sakit hati kami kalau dianggap sebagai penyerobot.”
“Pengambil hak orang lain. Gila. Kenapa setelah berpuluh-puluh tahun (penggugat) tidak pernah muncul?” ujar Asep.
Senada seperti warga lainnya, sang Ketua RW benar-benar tak bisa berbuat banyak. Semua telah dia serahkan kepada pemangku jabatan.
“Saya serahkan kepada para pejabat-pejabat yang punya kebijakan. Selain itu (warga) tidak bisa berbuat apa-apa, selain bertahan,” pungkasnya.