Manfaat dan Bahaya Memakan Makanan Pedas – Makan makanan pedas ekstrem dapat menyebabkan masalah kesehatan, seperti mual dan muntah-muntah, berkeringat hingga pingsan.
Mengenai manfaat dan bahaya makanan pedas, apakah makan makanan yang terlalu pedas juga bisa membahayakan nyawa seseorang?
Menurut professor Paul Bosland adalah sangat mungkin. Akan tetapi untuk itu, memerlukan proses yang tidak singkat dan tidak semudah itu.
Menurut ahli dari New Mexico State University itu, umumnya tubuh akan terlebih dahulu bereaksi terhadap makanan pedas yang masuk.
“Tubuh manusia akan terlebih dahulu bereaksi, dan mencegah hal itu sampai terjadi,” kata prof Paul Bosland seperti dikutip LiveScience.
Sementara itu menurut pakar bernama John Prescott, professor dari Sussex University, memakan cabai dalam jumlah yang banyak dapat menyebabkan inflamasi pada jaringan tubuh, dan menyebabkan kerusakan pada mukosa perut atau kerusakan usus.
Efeknya, menurut mereka yang pernah merasakannya sendiri, adalah perut seperti dikoyak dari dalam dengan benda tajam.
Mitos Makanan Pedas Bikin Panjang Umur
Jika makan pedas dalam jumlah berlebihan dapat membahayakan, namun tidak jika dalam jumlah yang sewajarnya.
Menurut studi yang dilakukan di Amerika Serikat, mengonsumsi makanan pedas dapat membantu manusia memperpanjang umurnya.
Dari studi yang melibatkan data 16 ribu orang di AS ini, ditemukan bahwa mereka yang gemar mengkonsumsi makanan pedas, memiliki risiko yang rendah meninggal dunia akibat berbagai sebab, jika dibandingkan mereka yang tidak gemar memakan makanan pedas, dalam hal ini salah satunya cabai.
Cabai sendiri adalah buah yang dihasilkan dari tanaman bernama Capsicum. Macamnya pun beragam dengan tingkat kepedasan yang berbeda pula.
Kandungan kapsaisin pada cabe disebut mampu mendorong tubuh untuk terhindar dari obesitas atau kegemukan.
Perlindungan atas obesitas ini kemudian dikatikan dengan penurunan resiko penyakit kardiovaskuler, metabolik, penyakit paru-paru dan juga penyakit jantung.
Co-author studi, Mustafa Chopan dan Benjamin Littenberg yang merupakan peneliti asal University of Vermont College of Medicine, melaporkan temuan ini pada jurnal PLOL One. (Fin-red)