PANDEMI berangsur landai. Keadaan mulai membaik. Sekalipun belum sepenuhnya, kondisi ini patut disyukuri. Kegetiran kian berkurang, kebungahan beringsut menjelang.
MUHAMAD NIZAR, Jabar Ekspres.
Kesenian dan kegiatan-kegiatan yang mengundang masa. Dirundung habis-habisan oleh pandemi. Penutupan aktivitas juga sempat digencarkan.
Dua tahun sudah masyarakat berada di bawah pagebluk yang mencekam. Situasi inipula dirasakan para pegiat kesenian. Perajin angklung, misalnya.
Disaat pandemi baru berumur tiga bulan saja, Saung Angklung Udjo was-was. Tak sulit menerka ujungnya, yakni pemberhentian total aktivitas kesenian di sana.
Penampil seni, produksi kerajinan, angklung maupun souvenir, berhenti. Namun, mereka, kan, mesti hidup. Tak bisa hanya berdiam diri. Apabila sudah terjempit begitu, segala hal, apapun itu harus dilakoni. Lantas insting bertahan hidup semakin merongrong hingga kepala.
Dari sekian pegiat seni Saung Angklung Udjo, Adang (37), seorang perajin angklung sempat merasakan hidup di tengah badai pandemi. Bahkan, dirinya sampai harus berkebun untuk sekadar mengisi perut keluarganya.
“Pandemi, saya macul (mencangkul). Menanam cabai, sayuran, bahkan sampai bantuin bikin jalan di sekitar kebun. Kami makan apa saja yang ada di kebun untuk makan istri,” ungkap Adang kepada wartawan Jabar Ekspres, Senin (23/5).
Berbincang dalam ruangan pengerjaan akhir (finishing) angklung di Saung Angklung Udjo, Adang mengisahkan betapa pedih hidup di bawah ketidakmenentuan yang disebabkan masa pagebluk Covid-19.
“Dampaknya terasa sekali. Meski ada satu dan dua yang minta finishing angklung. Sisanya, sibuk macul dan memberi makan kambing. Perih rasanya,” ucapnya sembari tersenyum getir.
Beruntung, warisan Udjo mengenai gotong royong diterapkan di dalam kehidupan. Bukan sekadar dua kata jargon semata. Pada masa sulit tersebut, Saung Angklung Udjo merangkul para pekerjanya dan masyarakat.
“Kan, memang enggak ada aktivitas selama pandemi. Jadi saung (Angklung Udjo) menyediakan lahan di sekitar wilayahnya untuk dijadikan pasar sayuran. Diisi oleh masyarakat,” ujarnya.
Lain halnya sebelum diterpa pandemi, Adang mengaku, setiap harinya selalu kelimpungan memenuhi permintaan pesanan angklung.
“Sebelum pandemi, tuh, sehari bisa bantu produksi finishing angklung sampai satu kontainer. Hampir 10.000 angklung per kontainer. Dari siang sampai siang lagi,” ungkapnya.