Sejarah Mudik di Indonesia, Ternyata Bukan dari Budaya Islam

Tapi tidak ada kegelisahan “mudik”, “pulang kampung”, atau semacamnya yang ahistoris. Kenderaan waktu itu sudah ada, bus, kereta api, kapal laut, sepeda, sado.

Dalam beberapa pemberitaan orang biasa untuk berbagai urusan naik sepeda dari Tanjung Pura atau Tebing Tinggi ke Medan. Tapi tidak ada rombongan mudik.

Koran Pewarta Deli edisi 18 Juli 1917, Koleksi Arsip Museum Sejarah Pers Medan.

Menurut Ichwan mudik merupakan fenomena sosial modern yang mungkin berkaitan dengan ketidak nyaman dunia rantau, kota, atau industrilisasi yang membuat hampa hidup manusia modern, sehingga merasa perlu “pulang”.

“Mudik juga penanda pembangunan yang terkonsentrasi di kota kota besar, yang banyak ditelaah para sosiolog dan antropolog. Implikasi nya, arus migrasi menumpuk di kota, lalu rindu kampung atau kota kota kecil tempat asal. Dehumanisasi kehidupan kota yang dibahas dalam teori kebudayaan?” katanya.

Momen yang pas dipilih adalah “lebaran” itu, jadi jangan-jangan substansinya bukan untuk merayakan Idul Fitri tetapi tempat “pulang”nya sosok yang kesepian dan gelisah di perantauan.

Dulu (tahun 1917 dan 1930) banyak kaum migran muslim di Deli, tapi tak ditemukan para pemudik yang gelisah untuk “pulang” itu.

“Anda mudik? Kenapa? Ada dua kemungkinan, anda sepi dan gelisah di rantau atau anda rindu, terhutang jarang mengunjungi kampung. Atau keduanya. Atau ada sebab lain? Yang jelas bukan karena idulfitri , tradisi itu tidak ditemukan dalam arsip sejarah panjang Islam,” tutur Ichwan. (Fin-red)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan