Bertahun-tahun Hidup di Rumah Tak Layak Huni, Iman: Seperti Anak Tiri

Dan, angin berarti angin. Sebab ada satu bagian dinding kamar tidur yang berlubang. Jebol. “Sekarang hanya bisa ditutup pake ini (papan triplek) aja dulu,” jelas Iman sambil memperlihatkan bagian dinding tersebut.

Kapan hari, papan GSR yang menutup bagian dinding samping gubuk lainnya juga luput terbawa hujan yang menghajar. “Itu (menunjuk papan GSR) yang seperti itu kemarin pas hujan juga kena, kebasahan, lalu kena angin dan hilang. Sebagian dinding jadi mesti ditambal,” sambungnya.

Kondisi demikian sudah dirasakan keluarganya sekira lima tahunan, mereka sudah terbiasa — atau terpaksa — mengulang kesedihan yang sama apabila turun hujan.

Adapun bantuan yang diterima terjadi pada masa lalu. Sepuluh tahun lalu. Bantuan dari pihak kelurahan setempat. Setelahnya, tidak ada. Bahkan bantuan sembako pandemi pun tak pernah mereka dapatkan. Soal bantuan pemerintah tersebut, Iman hanya menjawab singkat dengan senyum yang kelewat getir, “Seperti anak tiri.”

Justru lembaga swadaya masyarakat lah yang memberi bantuan kepada mereka. Baru-baru ini, Iman sekeluarga akhirnya bisa merasakan tempat MCK atau kamar mandi yang layak. Setelah yang dimiliki sebelumnya teramat memprihatinkan.

Hidup hari ke hari

Iman yang bekerja serabutan ini mengaku, ia bukannya tidak mau membetulkan gubuk tersebut. Apa lacur, penghasilan yang diterima selepas mencangkul, menjual hasil kebun milik orang lain, dan mengolah tape itu cuma bisa menghidupi keperluan sehari-hari.

“Hanya cukup buat makan. Masa enggak kepikiran buat benerin rumah. Sekarang mah yang penting masih ‘ada’ buat besok. Hidup hari ke hari aja,” lanjutnya.

Melewati hingar bingar kota lewat daerah Sindanglaya, Kota Bandung, penulis menemui Iman di kediamannya, Kampung Pamoyanan RT 03/RW 03 Desa Mekarmanik, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung.

Pertama tiba di sana, Iman dan istrinya sedang makan bersama sang anak bungsu berusia empat tahun. Sedangkan anak pertama berusia sebelas tahun, dan anak kedua menginjak usia enam tahun.

“Pengen juga menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Tapi ngeliat kondisi seperti gini,” Iman tampak enggan melanjutkan ucapannya.

Angin terasa lembut menepuk punggung penulis. Seolah-olah menyuruh diam sambil berkata ‘berhentilah bersikap menyebalkan’. Canggung. Penulis lantas melempar pandangan. Langit jadi pilihan. Mendung. Mendung yang murung. (zar)

Tinggalkan Balasan