JAKARTA – Pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin yang menyebut korupsi yang hanya menelan kerugian negara senilai Rp 50 juta tidak harus diadili di persidangan, menuai kontroversi. Sebab, pelaku yang melakukan nilai korupsi tersebut hanya cukup mengembalikan kerugian negara.
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menyampaikan, pernyataan Jaksa Agung Burhanuddin dinilai tidak adil dan melawan hukum. Menurutnya, setiap perkara pidana harus diproses hukum meski kerugian negaranya kecil.
“Tidak adil dan melawan hukum, setiap perkara pidana harus diproses berapa pun kerugiannya. Pidana itu mengadili perbuatannya bukan ganti rugi,” kata Fickar kepada JawaPos.com, Jumat (28/1).
Akademisi Universitas Trisakti ini menegaskan, perbuatan pidana utamanya adalah hukuman penjara. Selain itu juga memang turut dijatuhkan pidana denda untuk menutupi kerugian keuangan negara.
“Jika pengembalian kerugian negara menghapus pidananya, maka orang mencuri dianggap meminjam uang jika ketahuan, ini jelas bertentangan dengan tujuan penegakkan hukum pidana,” ungkap Fickar.
Dia berujar, pidana badan harus dilakukan agar hukum tidak diperjual belikan. Terlebih jika pernyataan Burhanuddin itu diterapkan, diyakini tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku korupsi.
“Apalagi jika dikaitkan dengan tujuan penghukuman efek jera, jelas tidak akan tercapai karena bisa dibayar dengan uang,” tegas Fickar.
Diberitakan, Jaksa Agung Burhanuddin menyatakan, telah meminta anggotanya untuk mengusut kasus-kasus korupsi di bawah Rp 50 juta dengan cara pengembalian kerugian negaranya saja.
“Untuk tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara di bawah Rp50 juta untuk diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara,” ucap Burhanuddin saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (27/1).
Upaya tersebut dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana, dan dengan biaya ringan. (jawapos-red)