SURABAYA – Tersandung kasus dugaan kasus suap terkait seleksi atau jual beli jabatan penjabat kepala desa, Bupati nonaktif Probolinggo, Puput Tantriani Sari dan suaminya Hasan Aminuddin akan menjalani sidang perdana.
Agenda sidang tersebut menyoal pembacaan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Penngadilan Negeri Surabaya, Selasa (25/1).
Dalam kasus mereka, Puput dan Hasan menyandang status tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama 18 orang lainnya. Kasus suap terkait ini muncul setelah ada dugaan jaul beli jabatan kepala desa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Probolinggo pada tahun lalu.
Adapun Bupati nonaktif Probolinggo, Puput Tatriani Sari dan Hasan Aminuddin yang merupakan Anggota DPR RI Fraksi Nasdem ini bakal menjalani sidang secara daring dari Gedung ACLC KPK.
“Puput dan Hasan online dari Gedung KPK C1. Sementara JPU (Jaksa Penuntut Umum) hadir di Pengadilan,” kata pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri kepada JawaPos.com, Selasa (25/1).
Diketahui, mereka terjerat setelah tertangkap tangan KPK, pada Senin 30 Agustus 2021.
KPK menduga, total tarif untuk menjadi kepala desa di pemerintahan Kabupaten Probolinggilo sebesar Rp 25 juta perorangan. Adapun tarif untuk menjadi Pejabat Kepala Desa sebesar Rp 20 juta, ditambah dalam bentuk upeti penyewaan tanah kas desa dengan tarif Rp 5 juta/hektare.
Puput dan Hasan terjerat sebagai penerima suap bersama Camat Krejengan, Doddy Kurniawan dan Camat Paiton, Muhamad Ridwan.
Mereka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara 18 orang lainnya, ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap yakni Pejabat Kades Karangren, Sumarto. Kemudian, Ali Wafa, Mawardi, Mashudi, Maliha, Mohammad Bambang, dan Masruhen.
Lalu Abdul Wafi, Kho’im, Ahkmad Saifullah, Jaelani, serta Uhar. Terakhir, Nurul Hadi, Nuruh Huda, Hasan, Sahir, Sugito, dan Samsuddin.
Mereka dijerat melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.