MENGOLEKSI boneka sedang jadi tren. Namun, bukan boneka biasa yang dimiliki, melainkan spirit doll. Para boneka itu diperlakukan bak anak kandung. Terlepas dari agama dan kepercayaan, terdapat sisi psikolog yang bisa diulik. Berikut tanggapan Ratna Sari SPsi MPsi Psikolog CH Cht CPNNLP, psikolog klinis sekaligus founder ERTAMENTARI Psikolog Surabaya.
Mengapa fenomena ini muncul?
Sebetulnya, ini bukan hal yang baru, melainkan tren yang kembali. Misalnya, di Indonesia dulu kan punya jalangkung. Fenomena itu bisa jadi berhubungan dengan kondisi pandemi. Kebanyakan yang mengadopsi adalah usia produktif (15–64 tahun) yang sudah bisa survive dengan keuangan sendiri. Di usia itu, kita sangat mendambakan bertemu orang lain, bersosialisasi. Namun, itu menjadi tidak bisa karena pandemi. Lalu, mengoleksi boneka menjadi salah satu bentuk pengalihan atau distressment dari kesepian atau ketidakproduktifan.
Apakah itu hal yang wajar?
Bergantung bagaimana boneka itu dilihat. Kalau mereka hanya menganggapnya sebagai objek, hanya benda mati, ya wajar. Sama dengan mengoleksi benda lain yang kita suka. Namun, menjadi tidak wajar jika boneka diperlakukan sebagai sesuatu yang hidup, bahkan dianggap memiliki perasaan dan bisa berkomunikasi. Orang-orang yang demikian biasanya menjadikan boneka sebagai bentuk distress sesuai dengan keinginannya. Sebab, mereka menganggap jika makhluk hidup, katakanlah pasangan atau anak yang diajak berkomunikasi, belum tentu responsnya sesuai dengan harapan.
Kenapa ada yang menganggap boneka bisa diajak berinteraksi?
Secara positif, boneka bisa menjadi bagian dari self-healing. Misalnya, kita tidak suka terhadap sesuatu, tapi tidak bisa mengungkapkannya, maka bisa diutarakan dengan bercerita kepada boneka. Dalam psikologi pun, ada play therapy menggunakan boneka. Tetapi, kita tahu bahwa itu hanya boneka, kita tidak berharap ia merespons balik terharap apa yang kita katakan atau rasakan. Nah, kalau ada orang yang sampai bergantung dan hidupnya tidak sehat karena terlalu berorientasi pada boneka, itu berlebihan. Apalagi kalau sampai sulit membedakan mana yang nyata dan tidak, itu justru berdampak negatif.
Bagaimana membaca kondisi tersebut?
Secara umum, harus dilihat apakah memang ada gangguan penyerta lain? Tiap orang memiliki pola dan dinamika penyerta yang berbeda. Misalnya, ada si A yang mengadopsi spirit doll sebagai penyalur kerinduan terhadap sosok anak. Ada juga seorang ibu yang merasa lebih senang dengan spirit doll setelah anaknya meninggal. Kita tidak boleh serta-merta memberikan label terhadap seseorang, harus dicek latar belakangnya.