Implementasi Sagala Desa

Oleh : R. Firman Nurtafiyana (Kepala Bidang Pemberdayaan Usaha Ekonomi Masyarakat – DPMDesa Jawa Barat)

(Peserta Penyetaraan Alumni Reform Leader Academy (RLA) dengan Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II, LAN-RI Tahun 2021)

Pandemi Covid-19 yang belum berkesudahan ini, cukup memporakporandakan perekonomian. Tak terkecuali di perdesaan yang ditandai berkurangnya interaksi bisnis secara langsung maupun turunnya permintaan akan produk hasil desa.

Namun kondisi ini tidak serta merta meminggirkan peran dan pamor desa dalam pembangunan. Malah sebaliknya, pola kehidupan di perdesaan dianggap lebih menyehatkan bagi masyarakat dan daerah wisata dengan area terbuka yang banyak terdapat di perdesaan, terus ramai diserbu warga.

Hal lainnya adalah produk-produk pertanian pangan segar serta tanaman herbal dan obat-obatan mendapat permintaan yang melonjak.

Secara lebih luas, dengan berbagai dukungan kebijakan dan lebih terbukanya akses teknologi dan ekonomi, mendorong kesadaran yang lebih tinggi akan peran desa dalam pembangunan.

Desa tidak lagi dipersepsikan dan diidentikan sebagai daerah yang lebih terbelakang, miskin dan hanya penyangga dalam pembangunan.

Segala hal diawali dari desa, dilakukan di desa dan desa menjadi sumber pertumbuhan baru dan lokomotif pembangunan. Namun yang lebih penting, masyarakat desa jangan hanya menjadi penonton, menjadi konsumen namun berperan lebih luas sehingga kesenjangan dan kemiskinan perdesaan lebih bisa ditekan.

Hal ini mendorong lahirnya gerakan Sagala Desa seiring proyek perubahan yang dilakukan. Konsep Sagala Desa menekankan bahwa desa memiliki segalanya untuk membangun dan mensejahterakan masyarakatnya.

Sagala Desa memiliki tiga turunan yang saling berkorelasi yaitu Desa Sagala Aya, Desa Sagala Bisa dan Desa Sagala Juara.

Pertama, Desa Sagala Aya tercermin dari kekayaan dan keindahan sumberdaya alam di Jawa Barat sungguh tak tertandingi.

Demikian halnya tercatat lebih dari 72% penduduk Jawa Barat tinggal di desa dengan keagungan budaya dan kearifan lokal yang luhur. Selanjutnya sumberdaya buatan berupa sarana dan infrastruktur pembangunan relatif lebih baik.

Kedua, meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat desa dalam membangun wilayahnya mengimbangi berbagai dorongan kebijakan yang lebih berpihak bagi perdesaan.

Tinggalkan Balasan