Kalau mereka ditangani lewat restorative justice, lanjut Rachman, lembaga penegakan hukum masih perlu menjelaskan mengapa masalah HRS tidak diproses dengan cara yang sama.
“Penyikapan terhadap pelaku-pelaku pelanggaran prokes harus benar-benar transparan dan akuntabel. Jika diabaikan, akan terbaca kesan diskriminatif dan itu bukan watak kebangsaan yang baik dalam konteks penegakan hukum,” tegas Rachman.
Ujung-ujungnya, kata dia, sikap tebang pilih hukum terhadap Habib Rizieq dan terhadap pihak-pihak ternama selain HRS akan membuat rendahnya derajat konsistensi penegakan hukum. Konsistensi yang rendah akan mengecilkan efek jera.
“Efek jera yang rendah akan membuat masyarakat tetap santai melanggar prokes. Prokes dilanggar berakibat situasi pandemi semakin darurat. ‘Sia-sia’ saja HRS diburu lalu didenda, kalau tak ada efek pembelajarannya bagi masyarakat,” pungkas Abdul Rachman Thaha. (Jpnn)