Miris, Indonesia Mulai Klaim Islam Radikalisme

JAKARTA– Anggota Komisi I DPR RI, Fadli Zon melalui siaran pers-nya, Senin (12/4), mengatakan bahwa Di Indonesia, label radikal kini secara politis telah dikonotasikan kepada kalangan dan umat beragama silam. Sehingga, tuduhan itu umumnya tidak bisa dipertanggungjawabkan serta pihaknya mengakui secara konsep sudah jelas keliru dan salah. Inilah kenapa umat Islam cenderung jadi sensitif ketika ada tuduhan radikalisme. Sementara lain sisi, ada kelompok bersenjata yang jelas menantang ideologi dan keutuhan NKRI, hanya disebut kriminal bersenjata.

“Kelompok-kelompok yang sudah jelas memberontak, atau melakukan kekerasan bersenjata, malah diberi label eufimistik (penghalusan makna-red),” kata Fadli Zon.

Politikus Partai Gerindra ini melanjutkan, jika ada penceramah Islam yang menjelaskan Jihad maka langsung dicap radikal. Padahal makna Jihan bukan hanya soal perang.

“Ketika ada kelompok Islam menyerukan ajaran agamanya, seperti menyebut kata “jihad”, misalnya, stigma radikal langsung disematkan. Padahal, kata jihad sendiri memiliki makna yang luas,” ungkapnya.

Dia mengatakan, sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, pejabat publik mestinya berhati-hati dalam melontarkan pernyataan terkait soal keislaman.

“Kita tak ingin kembali lagi ke zaman yang tak bersahabat dengan Islam dan umat Islam,” kata dia.

Fadli Zon mengatakan hal itu, terkait Komisaris PT Pelni, Kristia Budiyanto yang membatalkan undangan ceramah karena menuduh para Ustad terkontaminasi paham radikal.

Sejumlah penceramah atau ulama yang diundang tapi kemudian dibatalkan, diantaranya Ustad Firanda Andirja. KH Cholil Nafis yang juga pengurus MUI Pusat. Ustad Rizal Yuliar Putrananda. Ustad Syafiq Riza Basalamah, dan Ustad Subhan Bawazier. Bahkan, pejabat yang mengundang penceramah tersebut, dicopot dari jabatannya.

“Menteri BUMN seharusnya memberikan pembinaan kepada para petinggi PT Pelni. Hak karyawan PT Pelni untuk beribadah, atau melakukan kegiatan keagamaan, tak seharusnya diintervensi oleh direksi atau komisaris. Itu mengesankan tugas direksi dan komisaris BUMN jadi bersifat remeh-temeh belaka,” pungkas Fadli Zon. (fin).

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan