JAKARTA – Wali Kota nonaktif Cimahi Ajay Muhammad Priatna (AMP) akan segera diadili. Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah merampungkan dan menyerahkan berkas penyidikan terkait kasus dugaan suap atas perizinan di Kota Cimahi 2018-2020 itu ke Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ia mengungkapkan, penyidik telah memeriksa sedikitnya 76 saksi dalam penyidikan kasus ini, di antaranya aparatur sipil yang ada di Pemkot Cimahi. Lalu ada juga dari unsur swasta yang merupakan para kontraktor yang mengerjakan proyek di Kota Cimahi.
“Berkas perkara dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan dan atau hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan di Kota Cimahi Tahun Anggaran 2018-2020, telah dinyatakan lengkap atau P21,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangan yang diterima, Jumat (26/3).
Ali mengatakan, tim penyidik telah menyerahan tersangka dan barang bukti kepada JPU. Menurutnya, kewenangan penahanan Ajay dilanjutkan oleh JPU selama 20 hari. Penahanan berlaku sejak Kamis (25/3) hingga Selasa (13/4). Ajay bakal tetap ditahan di tempat penitipan di Rutan Polres Metro Jakarta Pusat.
“Dalam waktu 14 hari kerja, Tim JPU akan segera menyusun surat dakwaan dan melimpahkan berkas perkaranya ke PN Tipikor. Persidangan diagendakan di PN Tipikor Bandung,” kata Ali.
Diketahui, KPK menetapkan dua tersangka dalam kasus dugaan suap perizinan Rumah Sakit Umum (RSU) Kasih Bunda Kota Cimahi, Jawa Barat, pada tahun anggaran 2018—2020. Dua tersangka tersebut adalah Wali Kota Cimahi 2017—2022 Ajay Muhammad Priatna (AJM) dan Komisaris RSU Kasih Bunda Hutama Yonathan (HY).
Dalam kasus itu, Ajay diduga menerima Rp1,661 miliar dari kesepakatan awal Rp3,2 miliar. Pemberian itu sejak 6 Mei 2020, sedangkan pemberian terakhir pada tanggal 27 November 2020 sebesar Rp425 juta. Sebagai penerima, Ajay disangkakan melanggar Pasal 12 Huruf a atau Pasal 12 Huruf b atau Pasal 11 dan/atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Sementara itu, Hutama disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) Huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) Huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. (fin)