DEPOK – Empat mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Indonesia (FT UI) yang tergabung dalam Tim Tirta Arkara merancang Automated Integrated Aquaponic (AIA) Greenhouse System.
sistem tersebut merupakan sistem akuaponik yang mengombinasikan sistem budi daya tanaman (hidroponik) dan sistem budi daya ikan (akuakultur) dalam satu sistem terintegrasi ramah lingkungan.
“Kami menggunakan panel surya untuk menyuplai 50 persen kebutuhan listrik. Kami juga menggunakan sistem rainwater harvesting untuk menjaga pasokan air tetap ramah lingkungan,” kata Ketua Tim Tirta Arkara FTUI. M. Ramly Novriansyah dalam keterangannya, Rabu, (10/3).
Rancangan yang tertuang dalam makalah berjudul “Automated Independent Aquaponic (AIA) Greenhouse System” tersebut dipresentasikan di kompetisi Project Management Challenge 2020.
Berkat rancangan itu, Tim FTUI yang terdiri dari Anisya Nurpratina (Teknik Lingkungan angkatan 2017), M. Ramly Novriansyah (Teknik Sipil ’17), Satria Adipradana Parlambang (Teknik Sipil ’17), dan Rizal Firdaus (Teknik Sipil ’17), meraih juara dua pada kompetisi tahunan Project Management Institute, Indonesian Chapter.
Kompetisi yang diadakan secara virtual tersebut diikuti oleh 31 tim dari 14 universitas di Indonesia, Malaysia, dan China.
Sistem ini menerapkan NFT (Nutrient Film System), yang membuat mineral yang dihasilkan ikan disirkulasikan kembali untuk diserap oleh tanaman. Sistem tersebut bertujuan untuk meningkatkan sistem pertanian berkelanjutan yang meminimalkan emisi terhadap lingkungan sekaligus meningkatkan efisiensi produksi.
Pada area produksi terbatas, diharapkan nantinya akan dapat menghasilkan produk segar dalam jumlah besar.
“Berdasarkan simulasi tim, untuk setiap 100 m2 area produksi, AIA Greenhouse System dapat menghasilkan 754 kg sayuran per bulan dan 160-200 kg ikan per 10 bulan. Panel tenaga surya yang digunakan dapat menghasilkan daya 225—240 kWh per hari. Dengan biaya diperkirakan sekitar 1.1 miliar rupiah, greenhouse sebagai area produksi dapat dibangun dalam jangka waktu 102 hari,” ujar Ramly.
Sistem ini tidak hanya mengatasi masalah keterbatasan lahan agrikultur, melainkan juga mengatasi masalah yang timbul dari sistem agrikultur konvensional, yaitu efek rumah kaca yang berdampak pada perubahan iklim.
Badan Pusat Statistik pada tahun 2018 menyatakan bahwa luas areal persawahan di Indonesia mengalami penurunan menjadi 7,1 juta hektare dibandingkan dengan 7,75 juta hektare pada tahun 2013. Peningkatan jumlah penduduk yang tidak diimbangi dengan pemerataan lahan pertanian yang tersedia dapat mengarah pada masalah ketahanan pangan nasional.