Kalau saja waktu itu Bu Susi mendorong budi daya di dalam negeri maka persoalan perut nelayan terakomodasi. Para penangkap benur –yang biasa jualan ke penyelundup– bisa jualan ke perusahaan budidaya di dalam negeri.
Memang ada perdebatan ilmiah di internal perikanan saat itu. Hanya debat angka. Bukan debatnya para ilmuwan murni. Itu sebatas debat ilmiah para birokrat. Waktu itu ada satu aliran pemikiran bahwa benur lobster itu tidak bisa dibesarkan di ”kolam” budidaya. Kalau dipaksakan, di umur 70 hari benur itu akan mati.
Aliran ini mendasarkan diri dari hasil uji coba di pusat penelitian kementerian perikanan sendiri. Tentu aliran pemikiran itu menemukan kelemahannya sekarang ini. Yakni ketika terbukti Vietnam mampu membudidayakannya. Asal mendapat benur dari Indonesia –dengan cara apa pun.
Mungkin dasar pemikiran itu yang dianut pengganti Bu Susi. Ekspor benur dibolehkan. Tapi eksporternya harus memenuhi syarat: salah satunya, punya binaan nelayan budidaya lobster di dalam negeri. Ini mirip dengan kebijakan di bawang putih. Boleh impor bawang putih. Tapi importernya harus punya binaan petani bawang.
Begitu pula impor gula rafinasi. Yang importernya harus punya kebun tebu binaan. Kebijakan seperti itu, untuk bawang dan gula, sudah berlangsung beberapa tahun.
Sudah waktunya perguruan tinggi melakukan penelitian: apakah tujuan peraturan itu tercapai. Atau hanya pura-pura: sebatas agar ada alasan untuk membuka impor. Impor bawang dan gula pasti lebih menggiurkan daripada berpeluh mencangkul tanah. Demikian juga ekspor benur. Pasti lebih menggiurkan daripada budidaya. Maka terserah saja yang punya kuasa.(Dahlan Iskan)