Kalaupun Kiai Asep kini bergelar profesor dan doktor, itu bukan karena ia ingin gelar tersebut. Gelar itu ia raih sekadar agar ia bisa memimpin sendiri semua lembaga pendidikan tadi. Ia tidak mau hanya menjadi ketua yayasan. Kurang total.
Tanpa gelar itu pun, ia mampu mengelola semua itu. Tapi, peraturan yang tidak membolehkan.
Pun waktu mudanya. Tanpa ijazah SMA, Asep sudah bisa menjadi guru bahasa Inggris, matematika, dan biologi di berbagai SMP. Bahkan menjadi guru favorit.
Tapi, suatu saat ada aturan di SMP-SMP tempatnya mengajar. Semua guru harus menyerahkan ijazah SMA. Dan guru Asep memilih mengundurkan diri –tanpa ada yang tahu kalau itu karena ia tidak punya ijazah SMA.
Asep memang hanya sampai kelas II di SMAN 1 Sidoarjo. Tidak punya biaya lagi untuk menamatkannya.
Pun ketika lebih muda dari itu. Ketika baru berumur 18 tahun. Setelah putus sekolah itu. Asep diminta mengajar sekolah swasta yang kosong di pelosok Pasuruan. Ia mengajar semua pelajaran, kecuali akhlak. Sekolah itu bisa hemat sekali. Hanya perlu dua guru. Sekolah itu menjadi hidup. Tahun depannya justru mendirikan tsanawiyah, setara SMP.
Ketika mendirikan sekolah sendiri di Surabaya, juga cepat sekali maju. Tapi, Kiai Asep terpeleset. Itulah jurang yang paling terjal baginya.
Ia membangun gedung-gedung di tanah orang lain. Itu karena tanah tersebut akan diwakafkan.
Ternyata wakaf itu batal. Sekolah sudah telanjur maju. Gedung-gedung sudah baru. Dan megah-megah. Murid sudah 1.500 orang.
Pemilik tanah ingin sekolah itu menjadi miliknya. Saat Kiai Asep naik haji, sekolah itu dikuasai pemilik tanah. Dipagari. Asep tidak bisa masuk.
Itu ia rasakan sebagai pukulan yang sangat berat. Tapi, ia bikin sekolah baru di sebelahnya. Maju lagi. Dalam dua tahun gedung-gedungnya sudah mengalahkan sekolah yang di-”rampas” tadi.
Apalagi dengan ekspansinya ke Pacet. Jumlah siswa/mahasiswanya kini sudah 15.000 orang.
Penghargaan demi penghargaan mengalir ke Amanatul Ummah. Mulai sekolah terbaik sampai sistem pendidikan terbaik. Tahun ini 300 orang yang lulus SMA di Amanatul Ummah masuk ke berbagai universitas di dunia (Jerman, Rusia, Tiongkok, dan berbagai negara Timur Tengah).