JAKARTA – Pengamat ekonomi Universitas Lambung Mangkurat Prof. Muhammad Handry Imansyah menilai elit-elit buruh yang menolak RUU Cipta Kerja hanya mementingkan kepentingan buruh yang sudah bekerja dan tidak memikirkan kepentingan pengangguran.
“Elit pimpinan-pimpinan buruh ini mewakili kepentingan buruh yang sudah bekerja, tidak memikirkan kepentingan buruh yang akan masuk ke pasar kerja (pengangguran),” ujar Handry dalam acara diskusi media PWI Kalimantan Selatan, Rabu (15/7/2020).
Guru Besar Ekonomi Bisnis Universitas Lambung Mangkurat ini mengatakan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang banyak bagi pengangguran disebabkan adanya tuntutan upah yang terlalu tinggi. Kemudian, kata Handry, hal ini diperparah dengan rendahnya tingkat produktivitas dari buruh Indonesia.
“Dari RUU Cipta Kerja ini kan diharapkan bisa menciptakan keseimbangan,” kata Handry.
Terkait penolakan RUU Cipta Kerja, Handry mengatakan buruh-buruh di tingkat grassroot belum tentu memiliki sikap yang sama dengan para elit pimpinan buruh. Menurutnya, buruh di level grassroot belum tentu memiliki kepahaman yang utuh terhadap isi dari RUU Cipta Kerja.
“Dari sisi kepentingan buruh, itu buruh yang grassroot itu apakah dia tahu persis RUU Cipta Kerja apa isinya, kan gatau persis kan. Saya yakin buruhnya tidak ngerti persis, paling dikasih penjelasan yang tidak lengkap,” ujar Handry.
“Padahal harusnya disuruh baca betul-betul, itu kan yang memimpin buruh tidak bekerja. Hanya lobi sana lobi sini jadi memeras keringatnya para buruh melalui iuran-iuran yang membuat pimpinan-pimpinan buruh itu hidupnya enak sekali,” tambah Handry.
Menurut Handry, RUU Cipta Kerja bukan hanya menguntungkan pengusaha, tetapi juga menguntungkan buruh dan seluruh rakyat Indonesia. RUU Cipta Kerja, kata dia, dapat menjadi solusi atas permasalahan yang ada akibat pandemi covid-19 yakni meningkatnya jumlah pengangguran.
“RUU Cipta Kerja bukan hanya untungkan pengusaha, tapi buruh dan seluruh rakyat Indonesia juga diuntungkan,” tutup Handry. (yan)