BANDUNG – Penyaluran bantuan sosial (Bansos) yang tengah digencarkan untuk membantu masyarakat terdampak wabah virus korona sangat rentan dimanfaatkan oleh pihak tertentu, terutama calon petahana atau dinasti politik jelang penyelenggaraan Pilkada Serentak tahun ini.
Pakar Politik dan Hukum Universitas Nasional Jakarta (UNJ), Saiful Anam, seperti dilansir dari RMOLJabar, Kamis (4/6) menyatakan, jika bansos bisa dimanfaatkan sebagai ajang kampanye calon oleh pihak tertentu.
“Jangan sampai bansos dijadikan bahan untuk kampanye calon petahana,” kata Saiful Anam.
Selain itu, kata Saiful, menghambur-hamburkan dana di tengah kesulitan masyarakat yang tengah fokus dalam menghadapi pandemi Covid-19 dinilai tidak wajar.
Seharusnya, lanjut Saiful, anggaran Pilkada dapat dialokasikan untuk penanganan Covid-19 karena urusan Pilkada bisa dipikirkan kemudian.
Bahkan sambung Saiful, Pilkada di saat pandemi seperti saat ini dapat membahayakan rakyat sebagai pemilih. Sebab, pasti akan menimbulkan kerumunan massa saat melakukan pemilihan.
“Serta akan menggerus partisipasi masyarakat dalam pilkada. Maka pilkada akan menjadi mubazir untuk dilaksanakan,” tegas Saiful.
Dengan demikian, Saiful berharap pemerintahan Jokowi menunda pelaksanaan Pilkada dan lebih fokus mendapatkan pendanaan penanganan korona.
“Tangani korona saja sudah megap-megap, malah mau selenggarain Pilkada, apa tidak kacau?” pungkas Saiful.
Untuk diketahui, di wilayah Jabar ada sejumlah daerah yang akan menggelar Pilkada Serentak. Di antaranya Kabupaten Bandung. Diketahui, istri dari Bupati Bandung, Kurnia Agustina siap maju sebagai calon bupati meneruskan kepemimpinan sang suami melalui Partai Golkar. Tradisi dinasti politik ini sangat rentan menggunakan anggaran daerah yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi saat maju dalam Pilkada.
Bupati Bandung Dadang M. Naser mengaku, jika sejak awal dirinya dan keluarga besar tidak pernah mengizinkan Kurnia untuk ikut penjaringan calon bupati (Cabup) Bandung tahun 2020.
“Kemudian terjadi (pendaftaran penjaringan di Partai Golkar) karena adanya paksaan dari beberapa tokoh partai yang mendorong istri untuk maju,” begitu alasan Dadang.
Dorongan agar Kurnia mendaftar, lanjut Dadang, juga dikarenakan adanya hasil survei dimana elektabilitas sang istri sangat tinggi, padahal belum melakukan pergerakan dan langkah apapun menjelang Pilkada.