Begini Strategi Pemdaprov Jabar Dongkrak Perekonomian di Tengah Pandemi Covid-19

BANDUNG –  Dampak pandemi Covid-19 (Korona)sangat memengaruhi sektor industri, perdagangan, ekonomi, sosial dan lainnya.  Khusus di bidang ekonomi, berimbas langsung pada

sebagian besar industri  Jawa Barat terutama di kawasan Bekasi, Karawang, Purwakarta, dan sekitarnya.

Kepala Divisi Stabilisasi Ekonomi Gugus Tugas Percepatan Penanggulangan COVID-19 Provinsi Jabar Rahmat Taufik mengatakan dampak tersebut sudah dirasakan sejak akhir tahun 2019 akibat perang dagang yang digulirkan antara Amerika Serikat dan China.  Bahkan dengan pandemi ini, tekanan bagi dunia industri Jabar menjadi ganda.

“Dampaknya sudah jelas sejak akhir 2019 lalu, sehingga pertumbuhan ekonomi Jabar di bawah nasional, kerena bahan baku beberapa masih bergantung ke luar negeri, termasuk China,” kata Rahmat dalam video conference di Gedung Sate, Kota Bandung, Minggu, (17/5).

Rahmat yang juga Kepala Biro Ekonomi Setda Provinsi Jabar juga mengungkalkan ketika skala wabah meningkat, banyak pelabuhan di China ditutup yang menghambat proses produksi, termasuk bahan baku untuk alat pelindung diri (APD). “Inilah juga yang mengakibatkan banyak PHK,” tambahnya

Menurutnya, Jabar memegang peran strategis dalam menopang perindustrian nasional. Sebanyak 20 persen pabrik manufaktur Indonesia ada di Jawa Barat dan hampir sebagian besar manufaktur ini tujuannya ekspor. Misalnya, automotif, elektronik, tekstil, hampir semua di Jawa Barat.

Selain industri manufaktur, pandemi juga berdampak pada pariwisata.  Diketahui,  Jawa Barat juga merupakan daerah tujuan wisata. Sementara tempat wisata semua ditutup, sehingga berbagai sektor terdorong juga untuk mundur seperti kuliner, perhotelan, dan tenaga kerja lain yang ada di pariwisata.

“Tentu ini berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat. Selain itu, pangan terhambat, karena pasar induk mengurangi omzetnya, karena pasokannya juga berkurang,”ujarnya

Bahkan saat ini, kata Rahmat, petani dan peternak pun kesulitan menjual komoditasnya karena tidak ada pembeli. Ironi terjadi karena di tingkat produksi harga jatuh, tapi di tingkat konsumen harga tetap melambung tinggi. Hal inilah yang menyebabkan angka inflasi di Jabar masih tinggi.

“Mei seharusnya puncaknya panen. Padi harusnya panen, peternak sudah menyiapkan pula untuk panen di bulan puasa dan lebaran, peternak kesulitan menjual,” ungkapnya

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan