Mekipun MK berwenang menguji Perppu atas tafsirnya dan telah berulang-ulang menlakukan pengujian terhadap Perppuu, namun wewenang ini secara gramatikal tidak dapat ditemukan dalam Pasal 24C UUD 1945, yang pada prinsipnya MK diberikan kewenangan secara limitatif, salah satunya adalah menguji UU terhadap UUD. Dengan demikian, pengujian perppu dalam diskursus akademik masih mengundang perbedaan pandangan, adapun beberapa hal yang menjadi perdebatan adalah sebagai berikut;
Pertama, pada saat MK menafsir wewenangnya dalam rangka menguji Perppu akan beririsan dengan kewenangan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, bahwa “Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut”. Bagaimana jika MK menyatakan Perppu bertentangan dengan UUD 1945, apakah sekaligus menghilangkan wewenang DPR sebagaimana dimaksud? Bagaimana jika yang dibatalkan hanya pasal atau beberapa pasal, padahal DPR diberikan wewenang memberikan persetujuan terhadap perppu secara komprehensif dan merupakan kewenangan DPR secara original yang tidak dapat didelegasikan atau dibagi-bagi?
Kedua, makna menguji UU terhadap UUD adalah MK menuji secara vertical, namun dalam Dalam putusan MK No. 138/PUU-VII/2009, MK mendasarkan pada pengujian horizontal disebutkan bahwa MK berwenang menguji Perppu dengan alasan sebagai berikut: (a) Kedudukan yang sama antara UU dan Perppu sebagaimana disebutkan dalam UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 7 ayat (1).
Ketiga, bagaimana jika DPR tetap mendasarkan pada pandangannya, bahwa DPR yang secara tegas diberikan wewenang untuk memberikan persetujuan terhadap Perppu oleh UUD (constitutionally entrusted power), maka akan berakibat terjadinya Sengketa Kewenangan Lembaga Negara, yang dalam Pasal 24C UUD 1945 MK diberi wewenang untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, tentunya MK tidak dapat menjadi pemohon atas dirinya dalam SKLN.
Ketempat, apakah perppu yang dianggap bertentangan dengan UUD baik secara keseluruhan atau hanya sebatas pasal-pasalnya saja, dapat dikatakan bertentangan dengan hukum, padahal UUD merupakan sumber hukum, lantas jika dianggap bertentangan dengan hukum, apakah dapat disamakan dengan syarat pemajulan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7A UUD 1945?