Linda mengatakan, perubahan iklim pun mengakibatkan perubahan pola tanam dan peningkatan suhu yang sangat berdampak pada pengelolaan sumber daya air sehingga menjadi masalah sekarang ini.
“Perubahan iklim saat ini tidak dapat kita hindari. Terlihat di berbagai pelosok dunia gambaran dari dampak perubahan iklim, di mana musim kemarau akan berlangsung lebih lama yang dapat mengakibatkan kekeringan dan musim hujan akan berlangsung lebih singkat namun dengan curah hujan lebih tinggi dari curah hujan normal sehingga dapat mengakibatkan banjir dan longsor,” katanya.
Guna mengantisipasi perubahan iklim tersebut. Pemerintah Jawa Barat melalui Dinas SDA pada tahun 2020 ini sedang melakukan beberapa upaya untuk membangun untuk adaptasi perubahan iklim, seperti pembangunan dan rehabilitasi waduk, embung, situ, polder, dan sungai untuk pengendali banjir dan kekeringan.
“Penataan dan revitalisasi situ, waduk, saluran dan pantai multifungsi destinasi wisata air juara untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat. Serta rehabilitasi dan pemeliharaan jaringan irigasi untuk meningkatkan ketahanan pangan,” paparnya.
Kendati demikian, upaya pembangunan adaptasi perubahan iklim itu, kata dia, tidak bisa dilakukan oleh pihak SDA saja, melainkan semua pihak berkontribusi dalam upaya melestarikan air.
“Sehingga setiap orang punya perannya masing-masing dalam meningkatkan peran air untuk menghadapi perubahan iklim. Misalnya bersama-sama membuat biopori dan sumur resapan di lingkungan rumah tinggal,” tambahnya.
“Melakukan penghematan dalam menggunakan air untuk berbagai kebutuhan, tidak membuang sampah pada sumber air, melakukan penanaman pohon di daerah konservasi di hulu sungai, serta menciptakan inovasi dalam pengelolaan sumber daya air dan upaya adaptasi perubahan iklim yang ramah lingkungan,” pungkasnya. (mg1/yan)