BANDUNG – “Semua master dulunya seorang pemula”, Kalimat ini memberi syarat kepada kita bahwa untuk menjadi besar (investor) harus menghadapi zero zone, dalam kontek apapun termasuk ekonomi.
Bagi seluruh negara problem ekonomi merupakan tantangan global bukan hanya nasional, tetapi yang menjadi penentu ialah aktor itu sendiri, tidak lain ialah masyarakat yang ada di negara tersebut.
Singapura besar karena menguasai ekonomi, kita masyarakat Indonesia selalu mengagungkan Singapura, tetapi mengapa kita justru memperkecilkan kebangsaan kita sendiri. Seharusnya, kita tidak hanya mengagungkan tetapi juga memetik pelajaran dari Singapura, hukumnya Singapura tidak akan pernah menjadi se-abdidaya sekarang tanpa melewati proses.
Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini masih menjadi antisensis, masih ingat dengan kalimat tajam yang dilontarkan oleh John F Kennedy ketika terpilih sebagai Presiden Amerika tahun 1961 “Ask not what your country can do for you – ask what you can do for your country,”, “Jangan tanyakan apa yang bisa negara berikan kepada kamu, tapi tanyakan apa yang kamu bisa berikan kepada negara”, begitulah kurang lebih tafsir dari isi pidato tersebut menuntut rakyat Amerika saat itu harus berevolusi melakukan perubahan besar, termasuk pertumbuhan ekonomi, walhasil sampai detik ini Amerika masih sebagai negara ekonom.
Kita masyarakat Indonesia harus melakukan yang sama meskipun berbeda cara, kita telah melewati itu, artinya hanya sisa beberapa langkah lagi untuk menjadi negara ekonom, intinya semua harus kembali kepada kedisiplinan rakyat Indonesia.
Singapura yang mana kita sepakati sebagai negara representatif ekonom di ASEAN, dalam laporan Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) mengestimasikan pertumbuhan ekonominya kuartal II 2019 hanya 0,1 persen saja, angkat tersebut jauh di bawah ekspektasi ekonom yakni 1,1 persen, perumbutuhan itu diklaim menurun oleh pihak otoritas Singapura.
Adapun penyebabnya ialah sektor manufaktur merosot 6 persen dari kuartal II 2019, dan sektor konstruksi terkontraksi 7,6 persen dan jasa terkontraksi 1,5 persen. Namun otoritas Singapura kembali meninjau penurunan itu kemudian dipatok kembali berkisar 1,5 hingga 2,5 persen oleh Pimpinan Otoritas Moneter Singapura.