Tak dipilihnya AHY menjadi wakil calon presiden oleh Prabowo Subianto juga menjadi salah satu alasan Demokrat merapat ke Tim Kampanye Nasional (TKN) 01. SBY yang pernah berkuasa 10 tahun dinilai perlu memperkuat dinasti politiknya. Hal ini dinilai lumrah. Sebab, perolehan suara partai pada Pemilu 2019 masih jauh dari harapan.
Jika nantinya Demokrat beralih ke TKN, merupakan hal biasa dalam politik. Hanya saja, etika berpolitik yang dinilai kurang pantas. Ujang mencontohkan, ada sejumlah partai pada Pemilu 2014 yang awalnya tidak berkoalisi dengan Jokowi, tetapi tetap mendapatkan jatah dalam kabinet. PAN misalnya. “Saya rasa sangat wajar. Kenapa? Jika nantinya golden boy (AHY, Red) ingin maju dalam Pilpres 2024, tentu butuh fasilitas. Salah satunya kursi menteri untuk bisa bersaing dengan paslon lainya. Jika berkaca ke belakang, SBY saat melawan Megawati juga menduduki kursi menteri,” tukasnya.
Akademisi Universitas Islam Al-Azhar Indonesia ini melanjutkan, Demokrat pada pemilu kali ini bisa dibilang ketinggalan kereta. Ingin bergabungnya Demokrat ke TKN 01 tak mendapat restu. Berdiri di tengah-tengah tak menjadi pilihan terbaik. Akhrinya, Demokrat pun memilih masuk sebagai partai pengusung Prabowo – Sandiaga.
“Ada sejumlah alasan mengapa AHY terus digadang. Salah satunya adalah pendatang baru dalam dunia politik. AHY belum memiliki luka di masa lalu. Hanya saja, biaya yang besar dalam mengikuti kontestasi kepala negara perlu dipertimbangkan,” lanjutnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review ini melanjutkan, dibutuhkan jam terbang yang cukup untuk bisa terpilih sebagai calon kepala negara. Usia muda dalam percaturan politik Indonesia dinilai belum cukup kuat mendongkrak AHY. “Mendekat kepada koalisi Jokowi, saya pikir menjadi langkah jitu jika AHY ingin maju menjadi calon presiden ataupun cawapres pada Pemilu 2024 mendatang,” pungkasnya. (khf/fin/rh)