Pasal Makar Bernuansa Politis

JAKARTA -Pasal makar menjadi senjata ampuh untuk membungkam siapapun yang berseberangan dengan pemerintah yang sah. Sejak mencuatnya video people power Eggi Sudjana, istilah makar makin mencuat di tengah panasnya tensi politik saat ini.

Protes demi protes datang silih berganti. Salah satunya dari calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto. Ia meminta pemerintah tidak menakut-nakuti masyarakat Indonesia dengan pasal makar. Oposisi pun dibuat takut mengkritik pemerintah.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai, penerapan pasal makar bukan semata dalam penegakan supremasi hukum,melainkan lebihbernuansa politis. Pasalnya tuduhan itu dikenakan pada aktivis yang menggunakan terminologi People Power . “Apakah People Power bisa disebut makar ? dalam konteks apa istilah itu digunakan,” ujarnya kepada Fajar Indonesia Network, Jumat (17/5).

Menurut Fickar, makar dalam konteks hukum diatur dalam pasal 104,106 107 KUHP tidak mengatur ajakan people power. Dalam pasal itu, makar disebut keinginan individu atau kelompok yang berencana membunuh pemimpin negara.

Poin selanjutnya memisa­hkan diri sebagian wilayah negara dan menggulingkan kekuasaan dengan kekerasan.

“Jadi pelontaran istilah Pe­ople Power pada tahun poli­tik bukan merujuk pada upaya kudeta. Istilah People Power muncul dalam konteks respon terhadap kekhawatiran ter­jadi kecurangan pemilihan umum, bukan pada individu,” jelasnya.

Menurutnya, dalam konteks negara demokrasi substansi ketentuan makar sebenarnya sudah tidak relevan. Konsti­tusi UUD 1945 telah menga­tur mekanisme pemakzulan presiden. “Demikian juga saat pemilihan presiden, kandidat yang berlomba bisa diletakkan sebagai mekanisme untuk mengganti pemerintahan sebelumnya,” tegasnya.

“Karena itu jufa penerapan pasal makar secara substantif lebih pas diterapkan pada tindakan yang bersifat teror yang sudah terakomodir oleh UU Terorisme,” tutupnya.

Terpisah, Jaksa Agung MH Prasetyo menegaskan, pasal makar masih relevan dengan kondisi saat ini. Itu juga masih diatur dalam hukum positif Indonesia. Penerapan pasal ini bukan tanpa alasan. “Ada di KUHP ada itu (pasal) 104, 107, 108, 110, silahkan cek, “ katanya kepada Fajar Indonesia Network di Kantor Kejagung RI, Jakarta, Jumat (17/5).

Prasetyo mengatakan, para pihak yang dituduh melaku­kan makar semuanya berawal dari pasal-pasal tersebut.Semua berdasarkan fakta dan bukti.”Jadi tidak mungkin, kita sembarangan mengganjar pasal makar tanpa bukti-bukti yang otentik,” katanya.

Tinggalkan Balasan