Pakistan

“Ni hao,” sapa saya. Dijawab juga: ni hao.

Kami bercakap akrab dalam bahasa Mandarin. Mereka anak-anak muda dari Guangzhou. Datang ke Pakistan lewat Qatar. Tidak ada lagi penerbangan langsung dari Guangzhou ke Pakistan. Yang ada lewat Xinjiang. Berarti, memang lebih dekat lewat Qatar. Meski sama-sama muter.

Dua jam sudah. Maksimum sudah. Ufone saya belum juga ‘on’. Saya keluar hotel. Cari sopir tadi. Agar menghubungi temannya yang jual kartu di bandara. Jawabnya: suruh tunggu lagi satu jam. Maksimum dua jam. Saya balik ke lobby. Pinjam wifi hotel. Ternyata mudah. Tanpa password pula. Semua yang berada di lobi bisa akses internet.

Saya pun siap pesan hotel itu. Lewat online.

Kenapa tidak pesan kamar lewat petugas check-in di lobi itu saja? Saya sudah hafal: pasti diminta juga pesan lewat online. Tarif go show sangat mahal. Lebih mahal.

Ternyata hotel itu penuh. Tidak ada lagi kamar.

Tapi wifi hotel itu membuat saya bisa cari hotel lainnya. Dapat kamar. Tapi agak jauh.No problem. Sambil muter lihat-lihat kota Lahore. Siapa tahu Ufone saya ‘on’ di perjalanan.

Dua kali saya mampir toko HP. Tidak bisa mengatasi persoalan Ufone saya. Mulai sebel. Saya pun minta diantar ke toko resmi Ufone. Saya jelaskan kronologinya. Bukan beli di pasar gelap. Ini kartu resmi. Pakai paspor. Pakai sidik jari. Petugas Ufone pun membuka laptop. Pencet sana-sini. Ternyata kartu saya tidak bisa dipakai.

Ya sudah. Sudah waktunya salat Jumat. Tidak cukup waktu lagi untuk berkilah.

Saya juga harus segera ke Islamabad. Ibukota Pakistan. Besok paginya ada perayaan hari kemerdekaan Pakistan.

Saya putuskan untuk tidak beli kartu lagi. Saya akan coba menahan diri: hanya pakai HP kalau ada wifi. Misalnya di hotel.

Sesekali zuhud HP. Kapan lagi kalau tidak di Pakistan ini.(dahlan iskan)

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan