’’Dulu pernah ada diskusi Nyaris Bandung. Jadi, calon wali kota yang gagal kami undang untuk diskusi,’’ kata Wibisono, lantas terbahak.
Sebagai pelanggan, Wibisono merasa Los Tjihapit bukan sekadar tempat ngopi. Tapi lebih dari itu. Dia bisa ’’memotret’’ pemandangan kaum menengah ke bawah berinteraksi sosial secara otentik di dalam pasar.
Suasana itu menjadi salah satu kenikmatan yang tak diperoleh di kafe atau gerai kopi mainstream. ’’Juga, bisa lihat gerobak berseliweran di lorong pasar,’’ paparnya.
Suasana pasar yang otentik itu bisa mengobati stres di tengah padatnya rutinitas pekerjaan dan aktivitas perkuliahan. ’’Kalau ngopi di kafe itu bikin bosen. Tapi, kalau ngopi di tengah pasar itu, kita bisa lihat orang ramai berseliweran,’’ tutur Reza Firmansyah Ismail, praktisi media yang kerap nongkrong di sana.
Mereka akan tetap ngopi sambil berdiskusi sampai diskusi itu dilarang pemerintah. Atau kalau budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) mampir ke sana dan berdiskusi. (*)