Budayawan, Gubernur, sampai Cawapres Pernah Mampir

Sejatinya, ada tujuh kios yang menjadi bagian dari Los Tjihapit. Namun, gerai kopi hanya menempati dua kios. Sedangkan lima lainnya, yang berada tak jauh dari situ, digunakan untuk ruang galeri foto dan mengolah roti panggang. Gerai kopi dikelola Bayu Wijanarko dan anaknya, Rhasty Utari. Se­dangkan Fitra, sejak 2016, mengelola galeri foto.

Diskusi rutin dihelat di kedai ngopi di tengah pasar tradi­sional itu. Temanya beragam. Mulai mafia bola, Pancasila, politik, hukum, fotografi, per­filman, matematika, tato, sampai iluminati dan hal-hal mistis.

Kebanyakan pesertanya bu­kan pedagang atau pembeli di pasar itu. Melainkan ma­hasiswa, praktisi, akademisi, pakar, hingga seniman dan budayawan. Tiap kali diskusi, kios itu tak pernah sepi.

Bahkan, sekali waktu pernah sampai 70 orang yang datang. Sampai memadati lorong pa­sar. ’’Kalau diskusi soal foto­grafi atau soal bola, biasanya ramai,’’ ungkap Fitra.

Dia menceritakan, Los Tji­hapit dibuka karena ada warung makan Mak Eha di Pasar Cihapit. Warung makan khas Sunda yang legendaris bagi masyarakat Bandung itu tak pernah sepi.

’’Makan di Mak Eha kok enak. Terus, kami berpikir kenapa nggak bikin gerai kopi di tengah pasar, seper­tinya enak juga,’’ tutur pria yang menekuni fotografi itu.

Selama empat tahun terakhir, gerai Los Tjihapit berkembang dan dikenal banyak orang. Sederet tokoh politik, musisi, dan budayawan pernah mam­pir di kios itu untuk sekadar menikmati kopi ala kafe di tengah pasar. Di antaranya, calon wakil presiden (cawa­pres) Sandiaga Uno, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, musisi Keenan Nasution, serta budayawan Sujiwo Tejo.

Wibisono, salah seorang ’’member’’ Los Tjihapit, men­gungkapkan, tidak semua acara diskusi berlangsung lancar. Misalnya, diskusi ten­tang ’’Apa Gunanya Panca­sila’’ yang akhirnya gagal lantaran para pemateri men­dadak sakit. ’’Di sini (Los Tji­hapit, Red) mau ngomong jorok ayo. Jadi, akhirnya ba­nyak yang curiga, berpikir macam-macam,’’ tutur antro­polog itu.

Para ’’member’’ Los Tjihapit mengusung konsep diskusi wacana di tengah pasar. Semua pengunjung bebas berbicara asalkan masuk akal. Juga, bebas mengkritik kebijakan dan keputusan rezim yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan masyarakat.

Tinggalkan Balasan