Pelajaran dari Palembang untuk Operasikan LRT

Rabu siang pekan lalu itu, dari bandara, penumpang cukup banyak. Tapi, di satu demi satu stasiun lainnya, rata-rata hanya tiga hingga tujuh orang yang naik. “Saya baru pertama naik ini,” kata Reino Akbar kepada Jawa Pos di ruang tunggu.

Reino memilih kereta ring­an buatan PT Inka itu lantaran lebih murah. Apalagi, pengi­napannya dekat dengan Sta­siun LRT Bumi Sriwijaya.

Menurut dia, jika naik taksi bandara, biayanya lebih dari Rp 70 ribu. Sedangkan dengan LRT hanya Rp 5.000.

Waktu tempuh mengguna­kan taksi atau kendaraan pribadi juga lebih lama. Kalau kondisi lancar bisa mencapai 45 menit. Sedangkan dengan LRT cukup 30 menit.

Jarak keberangkatan antar­kereta 20 menit. Itulah yang masih sering dikeluhkan. “Terlalu lama. Saat kita dike­jar waktu, akan sangat mere­potkan,” keluh Dody Saputra, warga Palembang lainnya.

Titik keluhan lainnya, LRT Palembang tidak beroperasi 24 jam. Pukul 18.00 kereta ini sudah masuk kandang.

Jawa Pos sempat mengalami kehabisan kereta saat di Sta­siun DJKA. Selepas wawan­cara dengan petugas Balai Pengelola Kereta Api Ringan Sumsel. Sampai stasiun ter­sebut pada pukul 18.10.

Transportasi daring akhirnya jadi solusi. Peristiwa serupa terjadi dua hari berturut-turut selama Jawa Pos berada di Palembang.

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam dengan masih sepinya peminat LRT Pa­lembang. Menurut Kabid Perkeretaapian Dinas Perhu­bungan Provinsi Sumsel Mu­hammad Wahidin, pemerin­tah daerah bersama Kemen­terian Perhubungan mulai 22 Februari menerapkan inte­grasi antarmoda. LRT Pa­lembang memiliki penyokong moda lain, yakni DAMRI dan Trans Musi. “Kami berikan diskon untuk pelajar dan ma­hasiswa,” ucap Wahidin.

Jawa Pos sempat mencoba integrasi itu. Hanya dengan membayar Rp 10.000, penum­pang bisa menggunakan DAMRI. Namun, jika calon penumpang merupakan ma­hasiswa atau pelajar, tarifnya hanya Rp 8.000.

Waktu itu tujuan Jawa Pos adalah Universitas Sriwijaya di Indralaya. Jika tidak mengguna­kan kendaraan integrasi, untuk ke kampus tersebut, Jawa Pos harus membayar Rp 15.000 dengan transportasi daring.

Kebijakan tersebut dikaji selama sebulan. Selain inte­grasi antarmoda, pemerintah mengkaji penggunaan uang elektronik. “Banyak yang mengeluh soal KUE (kartu uang elektronik, Red) ini. Tapi, dilihat dulu bagaimana.”

Tinggalkan Balasan