SEKARANG, mengaji tak perlu jauh-jauh. Ada kuota, ada aplikasi. Dengan sekali atau dua kali klik, kita akan ‘duduk serta’ di mesjid-mesjid. Tepatnya ceramah agama yang banyak mengorbit di media sosial. Atau tausiah yang dilengkapi musik instrumen, animasi, dan sebagainya. Sungguh elok, bukan.
Tentu saja itu sangat positif untuk perbaikan sosial masyarakat kita. Setiap hari rohani disiram jika lagi senggang. Kebaikan tak lagi jauh dan tak lagi mahal. Cukup sekali atau dua kali klik, kita akan menyimak serta. Sesekali meggumam perlahan, sesekali tertawa, atau menggeram.
Hanya saja. Beberapa titik defensif seringkali kita temui dengan membuncahnya budaya dakwah dalam arus besar media sosial. Misal, kepanikan melegitimasi pendakwah atau penolakan dari komunitas tertentu. Yang lebih parah jika kita bingung mengikuti siapa atau jangan-jangan titipan siapa. Kadangkala kita sampai bertanya, kok tak ada ayat dan hadisnya? Atau minimal menyampaikan rasionalisasi dari 4 mazhab dan jumhur ulama. Seringkali keheranan dan tabrakan dengan budaya menjadi produksi dari dakwah. Semua itu menunjukkan bahwa ada sesuatu yang keliru. Sepertinya ada hal penting yang kita lewatkan.
Dulu di pesantren, ustaz kami pernah menirukan bagaimana kisah penguji disertasi bidang tafsir Alquran Al Azhar Kairo berkata kepada Qurasih Shihab. “Anta satakuunu dukturan tafsiir awwalan fil Aasia (Tenggara).”, (Anda akan menjadi doktor ilmu tafsir pertama di Asia Tenggara). Bertahun-tahun kemudian, setelah cek ricek, ternyata memang kisah itu benar adanya. Kita bisa mengeceknya di referensi terkait, misal di buku Inspiring Stories.
Kita tidak akan berlama-lama bercerita tentang pengarang Tafsir Al-Misbah ini. Mari melompati waktu beberapa generasi kemudian. Tersebutlah Abdul Somad, Adi Hidayat, dan A A lainnya. Tentu saja beliau-beliau tidak diragukan lagi kompetensi keilmuannya. Dan ustaz-ustaz lain yang aktif di media sosial.
Meski menyiram qalbu (tidak dengan “k” karena maknanya akan beda dalam bahasa Arab), terkadang ada saja ceramah yang justru meresahkan. Keresahan terlebih dirasakan bagi mereka yang punya pengalaman membaca kitab kuning atau tamat barazanji di surau-surau. Berbeda pendapat memang merupakan wajar. Tapi kadangkala muncul pertanyaan, “kok gitu?”, “masa sih?, atau “iyakah?”. Jika ingin skeptis sejenak, bisa jadi bukan karena kompetensi keilmuan, melainkan determinasi sosial yang lahir sedemikian rupa: karena alumni Timur Tengah.