Di Jakarta, output listrik yang dihasilkan lebih besar,yakni 50 kW. Sedangkan di Serpong, hanya 20 kW. Penamaannya pun berbeda, jika di Jakarta dinamakanfast charging,di Serpong disebutsmart charging.Untuk mengisi batere mobil sampai penuh, dibutuhkan waktu 30 menit agar terisi penuh. Tentu berbeda jika harus charge di rumah, yang rata-rata memakan waktu 6 sampai 8 jam. Wajar saja, karena daya listrik rumahan hanya 5 kW.
Lebih lanjut Arie bercerita, nantinya, untuk biaya pembuatan SPBL juga tidak memerlukan tempat yang luas seperti hal nya SPBU BBM. SPBL bisa berada di pusat perbelanjaan, parkiran perkantoran, sampai parkiran restoran cepat saji.
Arie mulai buka-bukaan, kepada FIN, ia mengaku menghabiskan dana sekira Rp800 juta untuk membangun satu SPBL seperti di Serpong. Tetapi ini masih uji coba. Jika nantinya sudah dikomersialkan, harganya bisa turun drastis.
Paling berkisar Rp200 juta. Kenapa, karena ini kita masih tahap uji coba. Beberapa alatnya pun di datangkan dari luar negeri. Tapi saya yakin, jika nantinya sektor swasta bisa membuatnya tanpa perlu impor. Inilah yang akan memangkas biaya, katanya.
Colokan yang digunakan dari sumber ke mobil listrik juga belum dipatenkan. Saat ini, sejumlah pabrikan masih berbeda-beda. Perlu ada paten yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, agar semuanya seragam.Terkait regulasi, Arie juga optimis, jika perizinannya tidak berbelit seperti mendirikan SPBU BBM. Alasannya sangat sederhana, karena SPBL hanya memerlukan listrik dengan daya yang sedikit besar. Dan ini pun tidak berbahaya, karena bersifat kering.
Ditanya harga, Arie terlihat kebingungan. Belum ada acuan harga yang ditetapkan. Jika bensin mengunakan acuan liter, listrik menggunakan kilo watt. Hanya saja, butuh acuan lebih spesifik untuk menghitungnya. Kita masih menghitungnya, tandasnya. (*/fin/tgr)