Tolak Bala dan Penyebar Agama Islam

Tradisi Rebo Wekasan sudah ada sejak za­man Wali Songo. Tradisi ini tidak terlepas dari pengaruh ajaran Islam. Bahkan, masih kental di tengah masyarakat Cirebon. Sebab, tradisi tersebut merupakan warisan secara turun-tem­urun dari para leluhur penyebar agama Islam untuk tolak bala.

__

REBO Wekasan merupakan akhir hari di bulan Safar dalam kalender hijriah. Konon, pada saat itulah Allah SWT menurunkan 320.000 bencana atau malapetaka ke muka bumi. Karena itu, Rabu (7/11) warga Blok Pesarean, Kelurahan Gegunung, Kecamatan Sumber, menggelar berbagai kegiatan Rebo Wekasan di Kawasan Situs Makam Pangeran Pasarean.

Kegiatan yang dilakukan itu salah satunya meman­jatkan doa kepada Allah dengan melaksanakan Salat Hajat Tolak Bala sebanyak dua rakaat.

Setelah itu, mereka mem­baca kidung air atau tisting yang berarti asal mula air dan kidung kerhayuan yang berar­ti keselamatan. Dengan ha­rapan, memohon dijauhkan dari bala dan bencana. Sela­njutnya melakukan tawurji, ngapem dan menyantap nasi uduk bersama.

Ketua Paguyuban Pangeran Pasarean sekaligus Juru Kunci Situs Makam Pangeran Pasarean, R Hasan Ashari menjelaskan, doa tawurji ini biasa berkumandang setiap malam Rabu terakhir pada Bulan Safar. Fungsinya, un­tuk mengingat kematian Syekh Siti Jenar. Menurutnya, tawurji sendiri berarti sede­kah uang koin yang dibagi­kan secara masal kepada warga, terutama anak yatim.

”Tawurji berasal dari suku kata tawur yang berarti melem­par uang koin, dan aji yang berarti tuan haji atau orang yang mampu. Inti tradisi Rebo Wekasan adalah doa bersama untuk meminta di­jauhkan dari segala bencana dan musibah. Sebab, menurut kaum sufi, Allah menurunkan lebih banyak bencana di Bu­lan Safar,” terangnya.

Selain doa, lanjut Hasan, tradisi ngirab mandi di Sung­ai Cipager yang jadi rangka­ian acara Rebo Wekasan ini bermula, dari kebiasaan Sunan Kalijaga memandikan warga saat Cirebon terkena pagebug atau wabah penyakit di Sung­ai Drajat. Setelah dimandikan di Sungai Drajat, ternyata langsung sembuh.

”Tradisi itu kami teruskan sampai sekarang untuk meraih karomah Sunan Kalijaga. Ha­nya saja, karena sungai di Drajat sudah kotor, ngirab mandi dipindahkan lokasinya ke Sungai Cipager yang ber­dekatan dengan Situs Pang­eran Pasarean,” terangnya.

Berita Terkait

Tinggalkan Balasan