JAKARTA – Peran media sosial makin signifikan pada tahun politik 2018-2019, namun masyarakat juga perlu mewaspadai kemungkinan adanya berita bohong atau ”hoax”.
”Masyarakat perlu mewaspadai adanya berita bohong atau ‘hoax’ yang ada di ruang ‘online’ media sosial,” kata Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman, Edi Santoso di Purwokerto, Jawa Tengah.
Dia menjelaskan, peran media sosial makin signifikan dalam kampanye politik seiring dengan jumlah penggunanya yang terus meningkat. ”Opini kini dibangun tidak semata di media arus utama, tetapi juga di media sosial. Bahkan beberapa kali agenda media arus utama dipengaruhi oleh perbincangan di media sosial,” katanya.
Kendati demikian media sosial masih belum sepenuhnya digunakan untuk kampanye politik secara konstruktif. ”Kondisi demikian yang pada akhirnya dikhawatirkan memicu ’hoax’, ujaran kebencian, konfrontasi terbuka dan lain sebagainya,” katanya.
Bahkan, kata dia, politik identitas juga makin menemukan bentuknya melalui media sosial.
”Program-program kampanye rasional tenggelam oleh pertarungan identitas. Orang membangun pembedaan ’kita’ dan ’mereka’,” katanya.
Untuk itu, kata dia, perlu ada upaya untuk membangun pemilih yang cerdas mengingat banyak tantangan yang berat dengan adanya fenomena tersebut.
”Mengatasi ’hoax’ ini, ada langkah struktural dan kultural. Strategi struktural, adalah pendekatan hukum. Ini wilayah pemerintah, untuk mengantisipasi penyebaran hoaks melalui penegakan hukum,” katanya.
Sementara upaya pencegahan, bisa dilakukan dengan mengajak semua kontestan agar berperan serta dalam kampanye ”antihoax”.
”Jadi, selain penegakan hukum, pemerintah juga bisa mendukung kampanye ’antihoax’ yang selama ini dilakukan oleh LSM atau komunitas-komunitas sosial,” katanya. (fin/ign)