Ada juga Belanja SKPD untuk memberikan pelayanan ke masyarakat, yang disebut dengan Belanja Program/Kegiatan Pelayanan yang dikerjakan oleh SKPD. Apakah program/kegiatan ini dinikmati sepenuhnya oleh rakyat? Ternyata tidak. Sebab tidak seluruh dana untuk membiayai program/kegiatan tersebut dipergunakan untuk membiayai Program-program pelayanan langsung ke masyarakat. Ada program yang bersifat penunjang. Di antaranya, program perencanaan tata ruang, perencanaan pembangunan ekonomi, penelitian dan pengembangan daerah dan program-program sejenis lainnya yang tidak memberikan pelayanan langsung ke masyarakat.
Bila dirinci, nilai program penunjang itu mencapai Rp 1.040.568.015.620 (14,4 persen). Sehingga, jika dikalkulasi, hanya tersisa Rp 2.173.690.826.622 (30 persen) yang dipergunakan untuk membiayai sarana/prasarana dan aneka layanan publik (disebut Program Pelayanan Publik atau Program langsung pelayanan ke masyarakat). Jadi sesungguhnya dari total Belanja Daerah senilai Rp 7,2 triliun hanya Rp 2,2 triliun, atau hanya 30 persen, yang menjadi barang dan jasa yang dinikmati langsung oleh publik.
Dalam hal ini pernyataan Nurul Arifin bahwa ”hanya 30 persen APBD yang sepenuhnya dinikmati rakyat” tidaklah keliru. Sebab, dalam belanja langsung itu masih terdapat belanja-belanja yang ”penikmatnya” kembali ke aparatur pemerintahan atau birokrasi.
Perlu Perubahan ”Mindset”
Para birokrat dan politisi selama ini sudah terbiasa merumuskan APBD, merujuk ke nomenklatur yang berlaku (Permendagri 13/2006). Menu belanja disajikan dengan istilah yang bisa menimbulkan kesalahan pemahaman di kacamata ”awam”. Seperti istilah belanja langsung yang seakan-akan seluruh dananya untuk membiayai pelayanan publik langsung ke masyarakat. Padahal, seperti saya uraikan di atas, ternyata tdak demikian. Maka, diperlukan keberanian untuk melakukan perubahan paradigma berpikir bagi kalangan birokrasi dan politisi demi keseragaman pengertian di masyarakat. Perubahan paradigma atau mindset tersebut dikedepankan oleh Nurul Arifin.
Nurul Arifin menunjukkan bahwa mindset tersebut tidak sepenuhnya benar. Dengan kata lain, APBD Kota Bandung tidak bisa dikatakan telah memihak rakyat, sesuai hasil bedah seperti di atas. Keberpihakan seorang kepala daerah kepada rakyatnya membutuhkan kejujuran utamanya dalam mempresentasikan angka-angka yang dipergunakan untuk menunjukkan kinerja pembangunan. Dan perlu perubahan mindset untuk memahami bagaimana keberpihakan itu diimplementasikan.